Senin, 26 Februari 2018

Belenggu

sumber gambar: Pixabay (google)

Muak hati ini, ingin kujambak saja rambut mereka semua sambil kusumpal mulutnya yang busuk pakai tisu toilet.


Aku tak dapat lagi menunggu kapan waktunya, sekarang saja. Pertama kujambak rambut si pirang. Setelah puas, mulutnya yang mulai mengoceh dan teriak kusumpal tisu toilet satu golong.

Si rambut cokelat selanjutnya, tadi dia menghalauku saat menjambak si pirang, rasakan tiba giliranmu. Tisu toilet yang basah kini menghiasi bibir merahmu. Biar kau rasa bagaimana rasanya tak berdaya, masih untung hanya kujambak dan kusumpal!. Biasanya kau injak aku dengan sepatu baumu itu.

Selanjutnya giliran si keriting yang mulutnya tak kalah keriting. Apa kau bilang? Aku seperti monyet? Rupanya kau yang harus beli cermin sebesar rumah dan berkaca siapa yang monyet!

Kupelintir rambut keritingnya, kutarik hingga kebawah. Jeritannya melengking di udara. Satu golong tisu mendarat masuk ke dalam mulut yang sering mengeluarkan kata-kata monyet itu.

Kini mereka bertiga tersungkur, tapi kilatan mata mereka masih menyala-nyala. Mereka mencoba bangkit dan melawan lalu mulai memegangiku seperti biasa.
Apa? Menyerah? Tidak! Aku akan melawan kali ini. Tak akan kubiarkan kalian menindasku kali ini.

Tak akan kubiarkan kalian tertawa dengan apa yang kalian lakukan padaku seperti biasanya. Mendorong, menampar, meludahi, menginjak perut, mengatai monyet, mempermainkan kepala, bahkan saat kalian jengkel tembok pun kau jadikan sasaran gebuk kepalaku.

Dasar kalian ratu drama! Layaknya sebuah upacara, sebagai penutupan satu ember air dingin menyiramiku dari kepala hingga ujung kaki. Dingin dan ngilu menyentuh luka yang bertambah basah. Kaki ini terpaksa diseret pulang menahan perih dan malu, namun semua orang bisu.

Mengingat itu, dalam pertarungan kali ini aku tak akan menyerah, kutendang si cokelat ke tembok hingga tersungkur. Si keriting terhempas ke lantai setelah satu tinjuan mendarat di perutnya.

Si pirang yang berdiri tepat berhadapan masih mengeluarkan aura singa betina yang kelaparan. Kau memang selalu kelaparan tak pernah kenyang, rupanya orang tuamu terlampau pelit memberimu makanan, atau terlalu miskin hanya untuk sekedar memberimu makan.

Dia mulai mengambil ancang-ancang, aku tahu ancang-ancang itu untuk apa. Biasanya si cokelat-lah yang akan melakukan itu, tedangan ke perut. Hah! Umpatku. Tidak kali ini, aku sudah belajar bagaimana caranya menghindar bahkan cara menjatuhkanmu.

Kutangkap kakimu dan kupelintir ke kanan, kau mulai menjerit, tapi ini bukan akhir tapi awal dari gerakan masterku. Tendangan di pinggang merobohkanmu. Akulah premannya sekarang, berani apa kau! Ujarku sambil mengelus hidung dengan jempol khas seorang jagoan di film action.

Oh! Rupanya mereka musuh yang tangguh, mereka mulai bangkit dan menyerang bersamaan. Tapi aku juga tak sendiri. Bersama amarah, rasa sakit, penderitaan, dan dendam yang membara di hati, kulayani kalian semua dengan senang hati.

Kami berguling dan bergulat, saling cakar dan jambak. Kaki dan tangan saling berseliweran kadang tepat sasaran kadang hampa. Bergulung di lantai bertumpang tindih, kadang berteriak dan meraung. 

Kami sudah seperti pegulat pro yang mengguncang arena.

Samar-samar kudengar suara riuh orang-orang dari sekitar arena tempat kami bergulat.

“Tolong-tolong, ada orang yang akan tenggelam tolong!”

Suara itu menggema jelas di tellinga, namun siapa yang akan tenggelam? Bukan aku, mereka bertigalah yang harus tenggelam. Kalaupun aku yang harus tenggelam maka mereka bertiga ikut bersamaku, biarlah kami mati bersama, hingga mereka tak bisa lagi merasa jumawa.

Kakiku mulai berat, sepertinya karena tertindih mereka. Mataku mulai gelap dan kepalaku melayang, sepertinya mati menjemput kami dengan cepat. Kalian tak akan kulepaskan, kaki kalian akan ku pegang hingga maut  turut bersama kita.

Suara gemericik air lamat-lamat terdengar dan menjauh. Tubuhku terangkat, tangan besar mengapit badanku. Aku baru tahu jika maut bertangan besar dan mampu merengkuhku dalam satu rengkuhan.

Akhirnya mataku terbuka, putih semua terlihat putih, inikah alam lain selanjutnya yang harus kutempuh?. Kutatap sekeliling mecari ketiga orang yang bergulat bersamaku dan kubawa mati.

Tapi sayang tak kudapati, hanya ada seorang wanita dengan wajah lelah yang menangis di sampingku. Mengusap rambutku sambil mengusap air matanya dan mengukirkan senyum.

“Bunga, kamu sudah sadar Nak? Kamu mau minum?” tawarnya padaku.

Kutatap wajahnya lekat-lekat, ah ibu… Kesadaranku mulai kembali sepertinya aku mengalami episodeku lagi.

Aku mengangguk, lalu dibantunya aku bangkit dan minum. Wajah ibu terlihat takut dan cemas, ini sudah kesekian kalinya wajah ibu membiru, sejak aku dinyatakan sakit dan butuh perawatan.

Ibu bercerita bahwa episodeku kambuh hari ini di sungai di dekat jembatan menuju ke rumah. Aku nyaris tenggelam, jika saja tak ada orang yang melintas di sana sore ini. Hingga aku dilarikan ke rumah sakit.

Aku hanya tertegun menyimaknya, ibu tahu perjuangannya masih panjang untuk melihatku sembuh dan melawan episodeku. Melawan trauma bully dan rasa sakit di jiwa.

Pasien dengan skizofrenia telah tersemat padaku.

#tantangan VI
#onedayonepost
#Odopbatch5



14 komentar:

  1. Balasan
    1. Ini ide liar yg masuk semalam, gegara sering dapet berita dan video soal bully, makasih mba udah mampir

      Hapus
  2. Balasan
    1. Korban bully bahkan ada yg sampai bunuh diri mas 😊

      Hapus
  3. Ya ampun sedih ya kasiaann 😩 jago ih mbak jyeritainnyaπŸ‘

    BalasHapus
  4. Kereeen πŸ‘πŸ‘πŸ‘ Ikutan ngeri&merinding... kirain tokohnya bukan manusia 😭

    BalasHapus
  5. Episode itu apa seperti epilepsi? Jadi penasaran malah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Episode di sini sebutan bagi kumatnya penyakit skizofrenia seperti halusinasi dan delusi, klo di epilepsi itu kejang, klo di skizofrenia dia melihat halusinasi atau delusi yg seakan akan nyata, klo di cerpen dia berhalusinasi lihat teman2 nya yg ngebully dia trus marah sendiri berkelahi sm halusinasinya, yg buat dia itu nyata.

      Hapus
  6. Mantap euy. Bisa ngolah emosi pembaca

    BalasHapus
  7. Puk puk puk jgn nangis mba Nia sayang.😊

    BalasHapus