Selasa, 27 Februari 2018

Pria di Kedai Teh Part 14



Nyaris mati,itulah yang dirasakan Alan beberapa menit kebelakang. Bertemu dengan Rapier adalah mimpi buruk di siang hari.

Pening dan berkunang-kunang dirasakan Alan setelah mendapat pukulan kedua dan nyaris pingsan.
Darah terus mengalir dari otot bisep lengannya. Ia pun terbatuk, “Uhuk!”, terasa perih mulutnya yang sudutnya sedikit robek.

“Keluarlah, mereka sudah pergi, kalian aman sekarang!” Teriak Alan.

Janik dan Moli yang mendengarnya, manguatkan diri mereka dan memanjat jendela untuk kembali masuk ke kedai.

Susah payah mereka menaiki jendela karena lemas dan kaki yang masih bergemetaran. Mereka berdua menghampiri Alan di meja no 13 dalam kondisi yang mencemaskan.

Janik tak berani mendekati Alan yang lengannya berlumuran darah, kepalanya tiba-tiba saja berdenyut sakit, perutnya mual, dan kehilangan keseimbangan. Bruk! Janik terduduk lemas di lantai dan memalingkan wajahnya dari Alan..

Moli cemas melihat kondisi Janik, tapi ia sudah tahu penyebabnya apa. Maka, dengan sigap Moli mengambil serbet di dapur lalu melilitkannya ke lengan Alan setelah membuka ikatannya. Alan yang kini telah terbebas menghampiri Janik.

Are you okay?” Alan berjongkok di depan Janik.

Janik mengangguk lemah dengan wajah yang masih berpaling.

“Janik, lengannya udah aku balut, jadi darahnya udah enggak ngalir lagi.” Ujar Moli.

Alan yang mulai paham mengapa Janik lemas, berdiri menjauhi Janik.

“Kalian sudah mulai tidak aman, tamu tak diundang itu akan mulai mencari kalian di tempat lain, kalian tidak punya pilihan selain ikut bersamaku.”

Janik dan Moli saling tatap, bersepakat dalam senyap, hingga akhirnya mengangguk bersamaan.

Moli membantu Janik bangkit dan mengekor Alan ke tempat parkir menuju mobil hitamnya. Alan meminta salah satu dari mereka menyetir menggantikannya. Moli-lah yang menjadi sukarelawan kali ini.

“Kemana kita akan pergi?” Tanya Moli setelah mereka semua masuk mobil.

“Kampung Bule.” Jawab Alan.

Moli menstater mobil lalu mengemudi ke tujuan. Jalanan menuju Kampung Bule memang biasa padat, dan lumayan jauh dari kedai butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai di sana.

Setelah masuk ke kawasan Kampung Bule, Alan memintanya untuk memasuki salah satu jalan yang tak terlalu luas. Mereka berhenti di salah satu hotel, dan masuk ke dalamnya.

Janik dan Moli tetap setia mengikuti Alan masuk ke hotel hingga ke dalam sebuah kamar. 1013 adalah nomor kamarnya. Ruangan kamarnya biasa saja, namun Alan tak berhenti berjalan hingga mereka tiba di depan sebuah lemari penuh buku.

Alan mengambil salah satu buku dari lemari itu dan rak itu bergeser kesamping hingga terlihat sebuah pintu. Janik dan Moli terkesima, ia merasa sedang bermain di film mata-mata yang banyak ruang rahasianya.

Alan membuka pintu itu dan masuk diikuti Moli dan Janik. Lorong yang tadinya gelap berubah menjadi terang begitu mereka tiba di dalam. Interior lorong terlihat indah dan natural, dindingnya dari batu berhiaskan tanaman-tanaman indah yang berkilau tersorot cahaya lampu.

Warnanya merah, ungu, putih, dan ada daun hijaunya. Semarak terlihat semua tanaman ini.

Janik dan Moli ingin sekali menyentuh tanaman itu saking indahnya, hingga jari-jari mereka mulai mendekat untuk menyentuhya.

“Jangan sentuh tanaman yang ada di dinding mereka semua beracun.” Ujar Alan yang seolah mengerti apa yang akan dilakukan Janik dan Moli.

Mendengar itu, Janik dan Moli segera menarik kedua tangannya, memasukannya ke dalam saku celana mereka.

Bagian lantai tak kalah menawan, terbuat dari kaca yang transparan sehingga kolam yang berisikan ikan-ikan yang berwarna-warni nampak jelas  terlihat.

Di ujung lorong Alan berbelok ke kanan, sebuah tirai dari manik-manik  yang disusun apik tergerai di sana, terdapat sebuah ruangan yang megah dan mewah di baliknya. Rupanya kamar president suit tersembunyi di sana.

“Kalian isirahatlah dulu di sini, aku akan mengobati lenganku dulu.” Alan pun segera pergi menuju ruangan yang lain dari kamar itu.

Janik dan Moli duduk di sofa besar bermotif mawar yang megah dan elegan. Kepala mereka sandarkan ke sofa yang empuk itu untuk meredakan ketegangan.

Tak lama munculah seorang pria membawakan minuman dan makanan ke tengah-tengah mereka, lalu meletakannya di meja.

Tampak sangat lezat makanan itu, kue-kue yang lezat, buah-buahan yang segar dan secangkir teh yang hangat masih mengepul di cangkirnya membuat air liur menetes.

Namun godaan itu harus kuat-kuat ditahan Janik, karena ia teringat tanaman beracun di lorong. Dirinya tak mau ambil resiko dengan gegabah memakan sesuatu yang mungkin saja beracun.

Moli yang hampir memasukan kue ke mulutnya, ditahan Janik dengan satu pelototan di matanya. Moli pun tersenyum getir dan mengembalikan kue lezat itu.

Aku belum tahu siapa Alan sebenarnya, apakah dia baik atau jahat, bisa di percaya atau tidak. Mengikutinya hanya untuk mecari petunjuk selanjutnya yang mungkin dimiliki Alan. Mengingat buku catatan Alan ada bersamaku sekarang.


Akankah kutemukan petunjuk lainnya?

Bersambung

#onedayonepost
#Odopbatch5

8 komentar: