Rabu, 28 Februari 2018

Pria di Kedai Teh part 15



Bunga beracun? Memang ada? Kalau ada buat apa ditanam? Atau … Janik masih sibuk  memikirkan bunga-bunga indah nan beracun yang jadi hiasan di lorong rahasia itu.

Entah mendapat wangsit darimana, tiba-tiba saja Janik berdiri dan kembali ke lorong itu. Ditinggalkannya Moli yang tertidur di sofa karena lemas dan lelah.

Lorong yang gelap itu langsung menjadi terang ketika Jnaik tiba di sana, teknologi penerangan dengan sensor gerakan memang menakjubkan. Janik berpikir itu tidak sungguhan hanya ada di film saja, tapi nyatanya ia mengalaminya sekarang.

Janik mengeluarkan handphone dari tas selempangnya yang berwarna cokelat. Jepretan demi jepretan ia layangkan pada bunga-bunga yang menghiasi dinding.

Warna-warninya memang tampak semarak dan meneduhkan, orang yang tidak tahu mungkin akan mengira bunga-bunga itu tak mengandung racun, padahal sebaliknya.

Janik sendiri tak tahu seberapa mematikannya racun pada bunga-bunga itu. Ia hanya 
berpikir dibalik keindahan dan tampilan yang tampak lebih rapuh dari makhluk yang lainnya ternyata menyimpan racun yang bisa saja mematikan.

Merasa sudah cukup mengambil gambar Janik kembali ke ruangan tempat Moli tertidur. Tapi kini sudah bangun dan sedang bercengkrama hangat dengan Alan.

Moli melambaikan tangannya pada Janik memintanya untuk segera bergabung. Ukh! Menyengat sekali wangi parfum Alan, dasar lelaki ! Umpat Janik dalam hati begitu menuju ke sofa.

“Ayo makan dan minum Nik, enggak beracun kok, aku dan Alan sudah mencicipinya.” Ujar Monik sambil memberikan cangkir teh.

Janik menerimanya tapi kemudian diletakannya kembali di meja. Alan yang melihatnya hanya tersenyum saja.

“Jadi apa hubunganmu dengan Samantha?” tanya Janik pada Alan.

"Hahaha, wah, kamu luar biasa ya, tak tergoyahkan bahkan setelah apa yang kita alami di kedai, masih menanyakan hal yang sama.” Alan malah bertepuk tangan sambil geleng-geleng kepala dan menahan tawa.

Ekspresi wajah Janik tak berubah tetap lurus dan serius, senang sekali sih dia tertawa! hati Janik mulai kesal. Moli yang melihatnya mengalihkan rasa tegangnya dengan memakan kue.

“Baiklah, karena kamu begitu penasaran akan kujawab. Kami adalah pasangan yang batal menikah. Cukup?” tantang  Alan.

Janik tertegun, kaget dan bingung, jika ibunya dan Alan adalah pasangan yang batal menikah, berarti…

“Kenapa diam? Kamu penasaran kenapa kami batal menikah?”

Janik masih terdiam, ingin dijawabnya ya pertanyaan Alan. Tapi entah mengapa kepalanya mulai pening, apa karena lapar? Atau karena hari ini PMS hari pertama?

“Baiklah akan kuceritakan mengapa kami batal menikah.”

Janik begitu ingin mengetahuinya namun suara Alan hanya samar-samar saja, yang terlihat hanya gerak bibirnya saja yang berkata-kata tapi tak dapat ditangkap maknanya.

Bruk! Semua menjadi gelap bagi Janik, ia ambruk.

Alan memanggil seseorang dari bagian ruangan lain di kamar itu, memindahkan Janik dan Moli yang sudah tak sadarkan diri.

Gelap semuanya terasa gelap bagi Janik, ia hanya bisa melihat samar-samar saja sebuah jendela. Dipaksa matanya untuk terbuka dan ia terperanjat memaksa tubuhnya bangkit.

Ia memeriksa sekeliling, Moli masih terbaring di sampingnya. Mereka berada di kamar Moli tanpa mereka sadari.

“Pengecut!” Umpat Janik kesal, namun kekesalan itu ditundanya, ia bergegas meraih tas selempang cokelat yang berada di atas meja.

Diperiksa dengan teliti isi tasnya dan semua buku catatannya masih ada, bahkan buku catatan milik Alan.

Apa maksud Alan melakukan semua ini? Apa yang harus dilakukan selanjutnya?

Hati Janik bertanya-tanya, dirinya berharap dari Alan ia akan menemukan petunjuk lainnya yang akan membawanya bertemu ibu. Hingga Janik melihat sesuatu yang tersembul dari buku catatan milik Alan.

Surat?

Bersambung

#onedayonepost
#odopbatch5

Selasa, 27 Februari 2018

Pria di Kedai Teh Part 14



Nyaris mati,itulah yang dirasakan Alan beberapa menit kebelakang. Bertemu dengan Rapier adalah mimpi buruk di siang hari.

Pening dan berkunang-kunang dirasakan Alan setelah mendapat pukulan kedua dan nyaris pingsan.
Darah terus mengalir dari otot bisep lengannya. Ia pun terbatuk, “Uhuk!”, terasa perih mulutnya yang sudutnya sedikit robek.

“Keluarlah, mereka sudah pergi, kalian aman sekarang!” Teriak Alan.

Janik dan Moli yang mendengarnya, manguatkan diri mereka dan memanjat jendela untuk kembali masuk ke kedai.

Susah payah mereka menaiki jendela karena lemas dan kaki yang masih bergemetaran. Mereka berdua menghampiri Alan di meja no 13 dalam kondisi yang mencemaskan.

Janik tak berani mendekati Alan yang lengannya berlumuran darah, kepalanya tiba-tiba saja berdenyut sakit, perutnya mual, dan kehilangan keseimbangan. Bruk! Janik terduduk lemas di lantai dan memalingkan wajahnya dari Alan..

Moli cemas melihat kondisi Janik, tapi ia sudah tahu penyebabnya apa. Maka, dengan sigap Moli mengambil serbet di dapur lalu melilitkannya ke lengan Alan setelah membuka ikatannya. Alan yang kini telah terbebas menghampiri Janik.

Are you okay?” Alan berjongkok di depan Janik.

Janik mengangguk lemah dengan wajah yang masih berpaling.

“Janik, lengannya udah aku balut, jadi darahnya udah enggak ngalir lagi.” Ujar Moli.

Alan yang mulai paham mengapa Janik lemas, berdiri menjauhi Janik.

“Kalian sudah mulai tidak aman, tamu tak diundang itu akan mulai mencari kalian di tempat lain, kalian tidak punya pilihan selain ikut bersamaku.”

Janik dan Moli saling tatap, bersepakat dalam senyap, hingga akhirnya mengangguk bersamaan.

Moli membantu Janik bangkit dan mengekor Alan ke tempat parkir menuju mobil hitamnya. Alan meminta salah satu dari mereka menyetir menggantikannya. Moli-lah yang menjadi sukarelawan kali ini.

“Kemana kita akan pergi?” Tanya Moli setelah mereka semua masuk mobil.

“Kampung Bule.” Jawab Alan.

Moli menstater mobil lalu mengemudi ke tujuan. Jalanan menuju Kampung Bule memang biasa padat, dan lumayan jauh dari kedai butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai di sana.

Setelah masuk ke kawasan Kampung Bule, Alan memintanya untuk memasuki salah satu jalan yang tak terlalu luas. Mereka berhenti di salah satu hotel, dan masuk ke dalamnya.

Janik dan Moli tetap setia mengikuti Alan masuk ke hotel hingga ke dalam sebuah kamar. 1013 adalah nomor kamarnya. Ruangan kamarnya biasa saja, namun Alan tak berhenti berjalan hingga mereka tiba di depan sebuah lemari penuh buku.

Alan mengambil salah satu buku dari lemari itu dan rak itu bergeser kesamping hingga terlihat sebuah pintu. Janik dan Moli terkesima, ia merasa sedang bermain di film mata-mata yang banyak ruang rahasianya.

Alan membuka pintu itu dan masuk diikuti Moli dan Janik. Lorong yang tadinya gelap berubah menjadi terang begitu mereka tiba di dalam. Interior lorong terlihat indah dan natural, dindingnya dari batu berhiaskan tanaman-tanaman indah yang berkilau tersorot cahaya lampu.

Warnanya merah, ungu, putih, dan ada daun hijaunya. Semarak terlihat semua tanaman ini.

Janik dan Moli ingin sekali menyentuh tanaman itu saking indahnya, hingga jari-jari mereka mulai mendekat untuk menyentuhya.

“Jangan sentuh tanaman yang ada di dinding mereka semua beracun.” Ujar Alan yang seolah mengerti apa yang akan dilakukan Janik dan Moli.

Mendengar itu, Janik dan Moli segera menarik kedua tangannya, memasukannya ke dalam saku celana mereka.

Bagian lantai tak kalah menawan, terbuat dari kaca yang transparan sehingga kolam yang berisikan ikan-ikan yang berwarna-warni nampak jelas  terlihat.

Di ujung lorong Alan berbelok ke kanan, sebuah tirai dari manik-manik  yang disusun apik tergerai di sana, terdapat sebuah ruangan yang megah dan mewah di baliknya. Rupanya kamar president suit tersembunyi di sana.

“Kalian isirahatlah dulu di sini, aku akan mengobati lenganku dulu.” Alan pun segera pergi menuju ruangan yang lain dari kamar itu.

Janik dan Moli duduk di sofa besar bermotif mawar yang megah dan elegan. Kepala mereka sandarkan ke sofa yang empuk itu untuk meredakan ketegangan.

Tak lama munculah seorang pria membawakan minuman dan makanan ke tengah-tengah mereka, lalu meletakannya di meja.

Tampak sangat lezat makanan itu, kue-kue yang lezat, buah-buahan yang segar dan secangkir teh yang hangat masih mengepul di cangkirnya membuat air liur menetes.

Namun godaan itu harus kuat-kuat ditahan Janik, karena ia teringat tanaman beracun di lorong. Dirinya tak mau ambil resiko dengan gegabah memakan sesuatu yang mungkin saja beracun.

Moli yang hampir memasukan kue ke mulutnya, ditahan Janik dengan satu pelototan di matanya. Moli pun tersenyum getir dan mengembalikan kue lezat itu.

Aku belum tahu siapa Alan sebenarnya, apakah dia baik atau jahat, bisa di percaya atau tidak. Mengikutinya hanya untuk mecari petunjuk selanjutnya yang mungkin dimiliki Alan. Mengingat buku catatan Alan ada bersamaku sekarang.


Akankah kutemukan petunjuk lainnya?

Bersambung

#onedayonepost
#Odopbatch5

Senin, 26 Februari 2018

Belenggu

sumber gambar: Pixabay (google)

Muak hati ini, ingin kujambak saja rambut mereka semua sambil kusumpal mulutnya yang busuk pakai tisu toilet.


Aku tak dapat lagi menunggu kapan waktunya, sekarang saja. Pertama kujambak rambut si pirang. Setelah puas, mulutnya yang mulai mengoceh dan teriak kusumpal tisu toilet satu golong.

Si rambut cokelat selanjutnya, tadi dia menghalauku saat menjambak si pirang, rasakan tiba giliranmu. Tisu toilet yang basah kini menghiasi bibir merahmu. Biar kau rasa bagaimana rasanya tak berdaya, masih untung hanya kujambak dan kusumpal!. Biasanya kau injak aku dengan sepatu baumu itu.

Selanjutnya giliran si keriting yang mulutnya tak kalah keriting. Apa kau bilang? Aku seperti monyet? Rupanya kau yang harus beli cermin sebesar rumah dan berkaca siapa yang monyet!

Kupelintir rambut keritingnya, kutarik hingga kebawah. Jeritannya melengking di udara. Satu golong tisu mendarat masuk ke dalam mulut yang sering mengeluarkan kata-kata monyet itu.

Kini mereka bertiga tersungkur, tapi kilatan mata mereka masih menyala-nyala. Mereka mencoba bangkit dan melawan lalu mulai memegangiku seperti biasa.
Apa? Menyerah? Tidak! Aku akan melawan kali ini. Tak akan kubiarkan kalian menindasku kali ini.

Tak akan kubiarkan kalian tertawa dengan apa yang kalian lakukan padaku seperti biasanya. Mendorong, menampar, meludahi, menginjak perut, mengatai monyet, mempermainkan kepala, bahkan saat kalian jengkel tembok pun kau jadikan sasaran gebuk kepalaku.

Dasar kalian ratu drama! Layaknya sebuah upacara, sebagai penutupan satu ember air dingin menyiramiku dari kepala hingga ujung kaki. Dingin dan ngilu menyentuh luka yang bertambah basah. Kaki ini terpaksa diseret pulang menahan perih dan malu, namun semua orang bisu.

Mengingat itu, dalam pertarungan kali ini aku tak akan menyerah, kutendang si cokelat ke tembok hingga tersungkur. Si keriting terhempas ke lantai setelah satu tinjuan mendarat di perutnya.

Si pirang yang berdiri tepat berhadapan masih mengeluarkan aura singa betina yang kelaparan. Kau memang selalu kelaparan tak pernah kenyang, rupanya orang tuamu terlampau pelit memberimu makanan, atau terlalu miskin hanya untuk sekedar memberimu makan.

Dia mulai mengambil ancang-ancang, aku tahu ancang-ancang itu untuk apa. Biasanya si cokelat-lah yang akan melakukan itu, tedangan ke perut. Hah! Umpatku. Tidak kali ini, aku sudah belajar bagaimana caranya menghindar bahkan cara menjatuhkanmu.

Kutangkap kakimu dan kupelintir ke kanan, kau mulai menjerit, tapi ini bukan akhir tapi awal dari gerakan masterku. Tendangan di pinggang merobohkanmu. Akulah premannya sekarang, berani apa kau! Ujarku sambil mengelus hidung dengan jempol khas seorang jagoan di film action.

Oh! Rupanya mereka musuh yang tangguh, mereka mulai bangkit dan menyerang bersamaan. Tapi aku juga tak sendiri. Bersama amarah, rasa sakit, penderitaan, dan dendam yang membara di hati, kulayani kalian semua dengan senang hati.

Kami berguling dan bergulat, saling cakar dan jambak. Kaki dan tangan saling berseliweran kadang tepat sasaran kadang hampa. Bergulung di lantai bertumpang tindih, kadang berteriak dan meraung. 

Kami sudah seperti pegulat pro yang mengguncang arena.

Samar-samar kudengar suara riuh orang-orang dari sekitar arena tempat kami bergulat.

“Tolong-tolong, ada orang yang akan tenggelam tolong!”

Suara itu menggema jelas di tellinga, namun siapa yang akan tenggelam? Bukan aku, mereka bertigalah yang harus tenggelam. Kalaupun aku yang harus tenggelam maka mereka bertiga ikut bersamaku, biarlah kami mati bersama, hingga mereka tak bisa lagi merasa jumawa.

Kakiku mulai berat, sepertinya karena tertindih mereka. Mataku mulai gelap dan kepalaku melayang, sepertinya mati menjemput kami dengan cepat. Kalian tak akan kulepaskan, kaki kalian akan ku pegang hingga maut  turut bersama kita.

Suara gemericik air lamat-lamat terdengar dan menjauh. Tubuhku terangkat, tangan besar mengapit badanku. Aku baru tahu jika maut bertangan besar dan mampu merengkuhku dalam satu rengkuhan.

Akhirnya mataku terbuka, putih semua terlihat putih, inikah alam lain selanjutnya yang harus kutempuh?. Kutatap sekeliling mecari ketiga orang yang bergulat bersamaku dan kubawa mati.

Tapi sayang tak kudapati, hanya ada seorang wanita dengan wajah lelah yang menangis di sampingku. Mengusap rambutku sambil mengusap air matanya dan mengukirkan senyum.

“Bunga, kamu sudah sadar Nak? Kamu mau minum?” tawarnya padaku.

Kutatap wajahnya lekat-lekat, ah ibu… Kesadaranku mulai kembali sepertinya aku mengalami episodeku lagi.

Aku mengangguk, lalu dibantunya aku bangkit dan minum. Wajah ibu terlihat takut dan cemas, ini sudah kesekian kalinya wajah ibu membiru, sejak aku dinyatakan sakit dan butuh perawatan.

Ibu bercerita bahwa episodeku kambuh hari ini di sungai di dekat jembatan menuju ke rumah. Aku nyaris tenggelam, jika saja tak ada orang yang melintas di sana sore ini. Hingga aku dilarikan ke rumah sakit.

Aku hanya tertegun menyimaknya, ibu tahu perjuangannya masih panjang untuk melihatku sembuh dan melawan episodeku. Melawan trauma bully dan rasa sakit di jiwa.

Pasien dengan skizofrenia telah tersemat padaku.

#tantangan VI
#onedayonepost
#Odopbatch5



Minggu, 25 Februari 2018

Pria di Kedai Teh Part 13



Mata pisau itu terlihat mengkilat seakan siap untuk merobek dan menusuk siapa saja  yang dikehendaki.

Si pria tampan sejagat yang masih tersumpal dan terikat di kursi merasa sedikit lega karena pisau itu tertancap di meja bukan di dadanya.

Suara sepatu yang beradu dengan lantai tak lama menyusul pisau yang tertancap itu.

“Wow, what a surprise! Siapa yang sedang tersandera di sini.” Ujar seseorang sambil mengambil pisau yang pegangannya berwarna merah marun.

Pupil mata si pria tampan sejagat tiba-tiba membesar melihat pemilik derap sepatu itu.

“Ckckckckck….Aku sangat salut pada siapa saja yang melakukan ini padamu, kawan lamaku yang tampan,” sambil melepaskan sumpalan di mulut yang disebutnya kawan lama.

Holla, apa kabar kawan berbisaku? Sejak kapan kau suka minum teh? Hingga membawamu ke kedai teh yang tutup, apa kau tak bisa membaca kata ‘closed’ di depan pintu?” Si pria tampan berucap dengan nada mengejek sambil menyunggingkan senyum yang memuakan.

“Hahaha, kau masih saja menjengkelkan, tapi rasanya ingatanmu mulai pikun, aku tak pernah masuk lewat pintu jika aku ingin masuk.” Balas si pemilk pisau tertawa lepas sambil memainkan pisaunya.

“Holly Moly, aku lupa bahwa seekor ular tak pernah masuk lewat pintu, dia hanya masuk lewat lubang dan menyelinap saja, sungguh tidak punya etika.” Ejeknya lagi.

“Wah, kebiasaan burukmu membuat orang jengkel dan marah memang tak berkurang dimakan usia, tapi sayangnya kau tak berdaya sekarang, kau hanya seorang elang cacat. Sepertinya aku harus berterimakasih pada yang telah menyanderamu sekarang.”

Si pria pemilik pisau mulai menggeledah pakaian si pria tampan. Mencari sesuatu namun tak di dapatkannya.

“Kau tak akan bisa menemukan yang kau mau, tikus kecil yang menyekapku seperti ini mungkin telah lari ke lubang yang paling kecil dan tak bisa kau masuki.”  Si pria tampan kembali mengoceh.

Janik dan Moli yang mendengar percakapan mereka dari balik tembok bawah jendela meja no 13 merasa tak karuan, antara takut ketahuan dan penasaran.

Pastinya yang mereka tahu hanyalah situasi ini sangat berbahaya. Mereka berdoa agar taman di balik jendela bertirai  dekat meja no 13 itu luput dari incaran mereka.

“Oh rupanya seekor tikus yang menyandera seekor elang, kau kalah besar Alan.” Ujar pria pemilik pisau sambil memasukan pisaunya ke dalam saku bajunya.

Alan? Ah jadi si pria tampan itu bernama Alan. Pikir Janik masih sambil menutup mulutnya dan sesekali menahan napasnya.

“Geledah tempat ini, sampai lubang yang terkecil, carilah seekor tikus, sekarang!” Perintah si pemilik pisau dengan suara menggelegar.

Jantung Janik dan Moli berdegup lebih kencang, keringat dingin membasahi badan mereka, bahkan tangis Moli hampir tumpah karena takut. Mereka saling berpergangan tangan.

Namun tiba-tiba terdengar suara tawa membahana, memecah ruangan. Pria bernama Alan itu kembali tertawa terbahak-bahak membuat si pemilik pisau melayangkan tinjunya ke wajah tampan Alan.

Buk! Darah pun mengalir dari mulut Alan, alih-alih sakit Alan malah menyunggingkan senyuman mengejek.

Cuh!” Alan meludahi lantai dengan darah di mulutnya.

“Kau tahu Rapier, kau tidak mungkin menemukan si tikus itu di sini. Aku sudah tersandera seorang diri selama 3 jam, kau tahu kan tikus sangat pandai berlari dan bersembunyi?” Ujar Alan.

Pria bernama Rapier itu menempelkan pisau tajamnya ke pipi Alan sambil menelisik kejujuran Alan. Bahkan ujung pisau itu mulai menyayat kulit wajahnya, membuatnya meringis sedikit.

Mata mereka saling beradu, Alan tak bergeming meski kini pisau nya perlahan menusuk otot bisep lengannya. Anyir darah mulai tercium seiring deras alirannya membasahi kemeja Alan yang berwarna putih.

Rapier kemudian menarik pisaunya, hingga Alan terpekik, lalu salah seorang pengikutnya membisikan sesuatu di telinganya.

“Baiklah sepertinya kau benar kali ini, semoga saja tikus itu bersembunyi di lubang yang tepat. Ah ya, kali ini hanya lenganmu yang kuukir, aku tak sabar untuk mengukir bagian tubuhmu yang lain Alan.”

“Kau tahu kau belum bisa melakukan itu saat ini Rap, Tuanmu masih membutuhkanku untuk mencari yang diinginkannya, karena hanya aku yang tahu dan kau tidak, Hahahaha.” Alan sepertinya tidak pernah bosan untuk tertawa hingga satu tinjuan mendarat di pipi bagian lainnya.

Rapier beserta kawanannya pergi setelah membuat Alan tak sadarkan diri dengan tinjuan terakhirnya.
Janik dan Moli yang masih gemetar dan lemas hanya bisa terduduk lemas di tanah taman yang tak terlihat dari jendela yang tertutup tirai.

Apa yang sedang kualami ini? Semuanya begitu mendadak dan tak dapat dimengerti? Sebenarnya siapa yang sedang kuhadapi saat ini? Aku sangat takut tapi aku harus melawan? Kepada siapa aku harus meminta pertolongan? Ibu pasti juga sedang melawan bahaya saat ini? Ya Allah tolonglah hamba. Pinta Janik dalam hati.

“Uhuk!” Sura batuk membuat Janik dan Moli kembali terjaga dan waspada.

Bersambung

#onedayonepost
#Odopbatch5