Jumat, 27 April 2018

Meet The Husband #1

sumber gambar : TinkyTyler.org
Tak pernah terbayangkan mengalami hal yang mengejutkan semengejutkan hari ini. Kedatangan Leon ke rumah sore ini membuat hidup ini jungkir balik. Mengapa harus hari ini? Dimana hati ini baru saja menyadari cinta yang dimulai sejak pandangan pertama..

“Aku enggak lama di sini Nas, cuma mau antar barang titipan Om Wirya dan langsung ke Bandung malam ini,ketemu Baby..”  Ujar Leon sambil tersenyum

Aku menghela napas panjang melihat Leon yang baru tiba dari L.A demi mengantar sebuah kotak kayu kecil yang kini tersimpan di meja makan berukuran kecil.

“Yakin bapakku enggak titip pesan apa-apa lagi?” tanyaku penasaran. Leon menggeleng pasti sambil menghabiskan nasi gudegnya, terlihat nikmat.

Pikiran ini mulai berat, mulai membenci bapak yang selalu menepati janjinya. Bapak pria yang taat janji. Berpegang teguh pada prinsip janji pria harus seperti merpati, karena merpati tak pernah ingkari janji. Mendadak aku benci sebuah lagu dengan judul yang sama.

“Oke, nasi gudegnya enak banget, thank you Nanas cantik. Bukannya enggak kangen, but I Have to go, see you dear.” Pamit Leon setelah kenyang makan dan minum.

“Oya, sekali lagi congrats ya, aku doakan yang terbaik buat kamu.” Tambah Leon sembari bangkit dari duduknya dan memelukku.

Benci rasanya mendengar Leon memberi selamat tapi apa mau dikata nasi sudah jadi bubur.

Langkah beratku mengantarkan Leon hingga ke pintu taxi on line yang dipesannya. Mobil dengan warna metalik itu menghilang seketika, meninggalkan aku yang masih terpaku di depan gerbang rumah yang bercat coklat setinggi tubuh jangkung ini.

“Teetttt!”

Suara klakson motor membawa kembali kesadaranku, Maya terlihat menyunggingkan senyum manisnya di atas motor bebek lawas yang dicat ungu.

“Aduh Mbak Ayune! Magrib-magrib gini kok bengong di depan rumah, nanti kesambet lho!”
Bibir ini tak kuasa menahan senyum,kami berdua masuk ke dalam rumah diiringi suara adzan magrib yang mulai bersahut-sahutan.

“Kamu kenapa tadi bengong Nas? Ada masalah?” Maya mulai melipat rukuh parasut birunya dan bertanya.

Aku mengangguk dan menggeleng, membuatnya bingung.

“Ada apa sih Nas? Kok kamu kayak orang linglung gitu.?”

Jari telunjukku menunjuk sebuah kotak kayu kecil berwarna coklat muda yang sudah berpindah tempat ke meja rias putih di samping kanan almari berpintu tiga.

Maya mengambil kotak kayu itu dan membawanya ke tempat kami shalat. Kotak itu kini berada di antara kami. Di atas hamparan karpet bulu berwarna merah muda.

“Kotak apa ini Nas?”

Kami memandangi kotak ini agak lama, lalu kuraih dan membukanya.

“Ini”, kotak yang kini terbuka kembali tersimpan di karpet

“WOW! Cincinnya cantik banget? Punya siapa?”

Cincin emas putih sederhana dengan hiasan batu safir biru berukuran kecil membulat di tengahnya, bertengger cantik di kotak kayu dengan bantalan hitam.

“Punyaku..” lemah suara ini terdengar.

“Jadi,apa masalahnya dengan cincin ini? Bukannya lumrah perempuan pakai cincin?”

“Itu cincin pernikahan May…” jawabku menggantung

“Pernikahannnya siapa? Kok ada di kamu?”

“A….ku.” mata ini menatap lurus mata Maya berusaha meyakinkan diri sendiri dan dirinya.

What?! Hallo kapan kamu married Jeng Nanas? Sama siapa? Aduh Kepala ini mulai bingung!” Maya yang terkaget-kaget mulai memijit-mijit kepalanya yang belum terbungkus kerudung.

Bingung harus menjelaskan darimana, karena kepala ini masih berat menerima kenyataan bahwa bapak menunaikan janjinya di tahun ini dan tanpa pemberitahuan sama sekali. Benar-benar sesuai perjanjian.

Pikiran kusut ini membawa ingatan kembali ke tiga tahun yang lalu, saat masih bersama bapak.

“Baik, Bapak akan ijinkan kamu kembali pulang ke Yogya dan tinggal di sana, sendirian. Tapi dengan satu syarat!” suara bapak yang berat terdengar begitu tegas di telinga.

Bapak yang saat itu mengenakan setelan kaos polo merah dan celana jeans pendek selutut, duduk saling berhadapan denganku di atas sofa hitam yang berbahan kulit

“Syarat?” tanyaku taku-takut.

Bapak yang masih terlihat gagah diusia senjanya, menggangguk mantap. Keriput di wajahnya justru mengguratkan keseriusan yang dalam.

“A..pa syaratnya Pak?” tanyaku dengan tangan yang mulai basah mandi keringat.

Bapak menghela napas panjang kemudian mata cokelatnya menatap lekat-lekat. Tangannya yang kokoh berwarna tembaga memegang pundak kecilku yang kala itu berumur dua puluh satu tahun.

“Bapak akan langsung menikahkanmu dengan lelaki pilihan bapak sesuai amanat mendiang bundamu. Kamu hadir atau tidak di sini.”

“Maksud Bapak, saya akan langsung bapak nikahkan meskipun saya tidak disini, bahkan tak pernah beremu dengan dia?”, tanyaku histeris

“Benar.” Jawab bapak singkat

Rasanya seperti tersengat listrik bertegangan tinggi, ingin protes namun raut wajah bapak sangat serius.

Entah mendapat wangsit darimana saat itu aku hanya merasa itu gertak sambel untuk mencegahku kembali Yogyakarta, ke rumah lama kami. Rumah yang penuh kenangan mendiang ibu.

“Lalu kalau tanpa pemberitahuan, bagaimana  saya tahu sudah dinikahkan?” tantangku.

“Bapak akan mengirim sebuah kotak kayu yang di dalamnya ada sebuah cincin. Itu tandanya kamu sudah bapak nikahkan. Cincin itu adalah cincin kawinmu.” Terang bapak.

Aku tertegun sesaat, rambut panjang yang terjulur sampai ke pinggang mulai terpilin. Bola mata hazel ini mulai bergerak ke kiri dan ke kanan. Menimbang –nimbang, entah mengapa lagi-lagi hati ini merasa itu hanya gertakan bapak untuk meruntuhkan keinginanku pulang ke rumah yang telah lama kami tinggalkan. Meninggalkan rasa sakit dan perih atas kepergian bunda untuk selamanya.

“Baiklah Pak, saya sepakat dengan syaratnya.” Jawabku mantap

Bapak tersenyum penuh kemenangan lalu menepuk-nepuk pundak ini dan berlalu meninggalkanku yang masih terduduk kaku berharap keputusan ini benar.

Tahun pertama di Yogyakarta berlalu dengan damai, bahkan menyenangkan. Bertemu dan berteman dengan Maya, gadis manis berlogat jawa ngapak yang sangat baik dan berhati hangat hingga membuat kami menjadi bersahabat.

Syarat yang bapak ajukan sama sekali tak terjadi, itu membuatku yakin bahwa syarat itu hanya gertak sambal.

Tahun kedua bahkan jauh lebih menyenangkan dan mengasyikan, aku dan Maya sama-sama diangkat menjadi guide tour tetap di perusahaan travel yang terkenal tempat freelance kami, dengan gaji yang menggembirakan

Di tahun kedua pun syarat bapak yang aku setujui tak pernah menjadi kenyataan. Akhirnya syarat itu benar-benar dihapus dalam ingatan, berlalu bersama hembusan angin sore di pantai Parang Tritis  saat bertugas mengantar tamu dari jepang.

Hati yang kujaga ketat agar tak pernah jatuh pada siapapun demi menepati syarat dari bapak, mulai longgar. Hingga tanpa tahu mata ini membawa masuk sesosok yang menarik hati saat pertama kali berjumpa. Ya it’s love at the first sight. Beberapa bulan yang lalu begitu masuk tahun ketiga di Yogya.

Tapi mengapa, syarat bapak justru malah terpenuhi di tahun ketiga ini. Kala hati ini telah tertambat sosok lain. Bagaimana aku bisa menerima suami piihan bapak yang hingga detik inipun tak tahu sosoknya seperti apa.

Apa yang harus kulakukan dengan hati yang terlanjur jatuh cinta ini? Air mata yang tertahan sejak tadi akhirnya mengalir deras. Maya yang masih kebingungan memelukku erat yang menangs sesenggukan.

Bersambung.

#Meet The Husband
#Part 1
#kelas fiksi.




                                                                                                             

9 komentar:

  1. Heuuu

    Untung ayahku ga begitu πŸ˜‚

    BalasHapus
  2. Dinanti banget lanjutannya, besokkan bun?πŸ˜‰

    BalasHapus
  3. Balasan
    1. Wah mba Alif mampir, ditunggu kelanjutannya ya mba 😁

      Hapus
  4. hallo, Bun.. lama gak baca tulisannya lagi, lama bgt :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe, iya Pak dwi, saya garap yang lain sampai ga ngurus blog, semoga bisa semangat lagi bulan ini di program odop, terimakasih sudah mampir pak dwi.

      Hapus