Minggu, 02 September 2018

Bumi Libur Hari Ini



sumber gambar : Google

Hari masih amat pagi, matahari bahkan masih malas untuk naik, tapi tempat ini sudah penuh sesak. Tempat apa ini sebernarnya?, selalu saja ada yang datang dan pergi. Tapi, aku pun termasuk pendatang di tempat ini, dengan tujuan pergi dari tempat ini. Tempat ini hanya untuk singgah semata.
Rasa haus karena terbangun terlalu awal  membuatku menembus kerumunan yang memenuhi kolam yang sedari tadi dipandangi. Kolam itu satu-satunya tempat air minum berada . Kolam dalam yang berbentuk seperti jejak kaki singa itu dipenuhi oleh para pendatang yang sepertinya baru tiba, karena kemarin kolam ini tak penuh sesak seperti ini di pagi hari. Beruntunglah tubuhku tak terlalu kecil namun tak terlalu besar juga, hanya besar saja dan cukup kuat untuk menembus kerumunan  dan mendapatkan tempat untuk meneguk air yang dingin dan kecoklatan itu.
“Penjaga Pintu Gerbang itu mengatakan ‘maaf, bumi libur hari ini, silahkan kembali lagi dua pekan mendatang’.” Ucap badak dewasa yang berada tepat di samping kananku, suaranya menirukan suara lain dan terdengar lucu.
“Ya, aku sudah mendengarnya dari Singa betina kemarin sore. Sungguh membuat putus asa, kita sudah berjalan bermil-mil jauhnya untuk tiba di Pintu Gerbang itu, dengan harapan bisa langsung menuju Havana, namun kandas karena bumi tutup. Aku  sudah tak muda lagi, mengapa bumi harus tutup kemarin.” Keluh Kijang tua yang berada di samping kiriku.
Mendengar percakapan mereka mengenai Pintu Gerbang dan Havana, sepertinya tujuan kami sama, aku pun singgah di tempat ini untuk pergi ke sana. Mengharapkan akan bisa pergi menuju Havana akhir pekan ini, tapi sepertinya masih harus menunggu sepekan lagi. Oh! sungguh melelahkan sekali bagiku apa yang dinamakan menunggu. Tapi mengapa bumi tutup selama dua pekan?
“Maaf Pak Badak, bolehkah aku bertanya?”, rasa penasaranku memunculkan keberanian untuk bertanya.
“Oh tentu saja, anak manis. Apa yang ingin kau tanyakan?”, jawab Pak Badak yang kini menatap ramah padaku.
“Mengapa bumi tutup hingga dua pekan?”, tanyaku
“Hmmm, kemarin penjaga pintu bermata lima dan berkulit biru itu mengatakan jika lalu lintas si Piring Terbang sedang padat di jalur yang menuju bumi, jadi bumi diputuskan untuk libur dua pekan.” Tuturnya
“Apakah kau juga hendak ke Havana?”, tanya  Kijang Tua kepadaku.
“Ya, Kakek Kijang, aku sudah menunggu hampir dua pekan di sini dan berharap akan pergi ke Pintu Gerbang dan menuju Havana pekan depan. Tapi sepertinya masih harus menunggu lagi.” Jawabku dengan sedih.
“Oh, anak yang malang. Apakah kau sendirian di sini? Dimana kawananmu?”. Kakek Kijang kembali bertanya dengan nada iba.
Aku menjadi bertambah sedih jika teringat kawananku, tenggorokan menjadi tercekat dan bulir-bulir bening hangat mulai bermunculan dari mata bulat ini. Mengangguk lemah adalah jawabanku yang kini sebatang kara.
“Apa yang terjadi dengan kawananmu?” Pak Badak mulai bertanya lagi dan berhenti minum air.
“Di perjalan menuju ke tempat ini, sekelompok pemburu liar memburu dan menembaki kami, lalu mengambil gading-gading kami, hingga tersisa aku dan ibuku saja. Namun naas, ibuku justru termakan perangkap pemburu gila lainnya saat hanya tinggal sedikit jarak yang ditempuh menuju ke sini. Kami terpisah di sana, aku melihatnya bersimbah darah, hanya perintah untuk pergi yang kudengar keluar dari mulut ibu terakhir kalinya. Semua kawananku yang tersisa dari Borneo berguguran, setelah sebelumnya sebagian dari kami mati dilahap api dan sesak oleh asap-asap dari hutan-hutan kami yang terus membara selama bertahun-tahun.” Perih hatiku memutar kenangan pahit itu
“Semua wilayah sepertinya telah mengalami hal yang sama, Andalas, Celebes, Pulau Padi, bahkan new Guinea pun telah rusak. Lingkaran kehidupan alam benar-benar telah menjadi lingkaran setan. Aku pun kini hanya sendiri saja.” Pak Badak menggeleng-gelengkan lemah kepalanya, terlihat ia menahan semua rasa sakit dari peristiwa yang merundungnya.
“Oh ya ampun. Kemalangan apa ini?, mengapa kita menjadi terlunta-lunta seperti ini. Apa kesalahan yang telah kita perbuat, hingga mendapat perlakuan seperti ini. Makhluk yang mengaku berakal itu sungguh tak takut karma.” Dengus Kakek Kijang
Kami yang dipertemukan di kolam itu, kini menjadi kawanan baru, entah harus kuberi nama apa kawanan ini, mungkin kata ‘yang tersisa’ cocok menjadi nama baru kawanan ini. Kami makan bersama, istirahat bersama, saling bertukar ceriita, dan berharap Havana adalah surga alam yang bisa memberikan kehidupan alami yang didambakan selama ini. Semua tersedia di sana yang alami sebagaimana seharusnya tempat tinggal kami. Pepohonan hijau yang rimbun dan lebat buahnya. Air bersih di sungai yang mengalir jernih tanpa noda timbal ataupun limbah lainnya. Udara yang segar dan sehat bebas dari asap-asap yang menyesakan. Tak ada lagi pembalakan liar dan perburuan liar yang merenggut nyawa kami. Mencoba mempercayai sepenuh hati bahwa makhluk berwarna biru, bermata lima, berkulit separuh bersisik separuh berambut, berantena, berlengan tentakel dan berkaki besar seperti milik ayahku, setinggi lima meter, tak membodohi dan mengingkari janji macam makhluk berakal yang menggusur tempat tinggal kami. Menyeret kami dalam kepunahan.
Waktu kebersamanku bersama Pak Badak dan Kakek Kijang terasa begitu cepat.Dua pekan hampir berlalu, hanya tinggal tiga hari saja sebagian dari semua kumpulan kawanan yang berharap pergi ke Havana akan menuju ke Pintu Gerbang. Tersiar kabar bahwa si Piring Terbang akan segera tiba. Namun bagai petir di siang hari, sebuah tragedi terjadi di tempat singgah ini. Kawanan yang satu membantai kawanan yang lain hanya untuk memenuhi rasa lapar. Melihat mata ini kerbau hutan dan babi hutan kepalanya telah tercabut dari badan mereka. Tubuhnya telah koyak oleh macan kumbang yang tak kuasa lagi berpuasa dalam keputusasaan dan kesendiriannya. Tempat singgah ini mulai kehabisan persediaan makanan, terutama bagi para pemakan daging. Bangkai-bangkai telah habis hingga ke tulang-tulangnya, sedangkan pendatang selalu bertambah setiap petang. Tempat singgah ini bahkan sudah tak sehijau saat kali pertama aku datang. Pepohonan dan tumbuhan lainnya mulai habis perlahan-lahan. Tinggal air keruh saja yang masih berlimpah di kolam telapak singa itu. Tapi siapa yang akan tahan jika hanya makan air.
Semua yang melihat kejadian itu langsung waspada dan berusaha mengamankan diri sendiri dan kawanannya yang masih tersisa, termasuk kawanan ‘yang tersisa’ milikku. Suasana tegang dan mencekam meliputi kami. Mendung langit sepertinya hendak bersekutu dengan suasana tegang ini, membangkitkan aroma pembantaian.
“Ini akan jadi petaka.” Ucap Pak Badak berbisik
“Kau benar, kita bisa saling bantai dan memangsa satu sama lain. Kita harus segera melarikan diri.” Saran Kakek Kijang.
Aku yang sudah ketakutan sedari tadi hanya mengangguk cepat tanda setuju. Kami pun mulai beringsutan menembus kerumunan kawanan lain yang masih bersiap siaga. Tibalah kami di penghujung tempat singgah itu, hanya tinggal selangkah dan selangkah dan selangkah lagi kami bisa keluar dari sana dan melakukan perjalanan ke Pintu Gerbang menunggu jemputan si Piring Terbang ke Havana.
Suara yang menggelegar tiba-tiba terdengar kencang sekali di cuping telingaku yang lebar, menghentikan langkah ini begitu pula langkah Pak Badak dan kakek Kijang. Auman dari Harimau Andalas rupanya, ia terlihat naik ke atas puncak batu dan semua perharian terpusat padanya termasuk perhatianku, Pak Badak, dan Kakek Kijang.
“Dengarkan semuanya! Ingatlah tujuan kita di sini adalah untuk pergi ke Havana, hanya tinggal tiga hari saja menuju Havana. Jangan sia-siakan pengorbanan kita selama ini dengan saling bertarung satu dengan yang lainnya. Bersabarlah!.”  Harimau Andalas itu mencoba menangani situasi tegang dan mencekam ini.
“Kami sudah tak tahan wahai Harimau, kami kelaparan dan kelelahan. Tempat singgah ini sudah tak cukup lagi untuk menampung kita semua. Pendatang baru selalu berdatangan setiap waktu. Nafsu kami menderu-deru, lapar kami tak akan hilang oleh pelepas dahaga.” Protes macan kumbang yang diamini singa.
Semua yang ada di tempat itu, mulai dari kura-kura, banteng, babi, buaya, ular, kerbau, hingga para unggas mulai ricuh, mereka cenderung sepakat pada macan kumbang dan singa.
“Dia benar! Lagipula bumi selalu libur, dari sepekan menjadi dua pekan. Mungkin saja Havana itu hanya bualan yang menjebak kita semua di sini. Lahan dan hutan kita lalu diberangus karena tak berpenghuni. Makhluk berakal itu sungguh sadis dan licik.” Elang pun turut bersuara
Tetesan hujan mulai turun tapi tak membubarkan percakapan itu. Tetesan hujan bagai penghitung waktu, entah menghitung waktu apa. Tapi bagiku, sepertinya tetesan hujan itu sedang menghitung waktu perubahan. Perubahan yang besar, firasatku.
“Baiklah jika kalian berpikir seperti itu, jika kesabaran kalian telah habis oleh rasa lapar dan amarah. Maka aku akan mengajak kalian semua untuk membakar hujan!.” Seru Harimau Andalas dengan kencang, yang disusul suara guntur yang bersahut-sahutan seolah memihak padanya.
Kami semua terdiam sesaat, sungguh aku tak mengerti makna dari membakar hujan. Apa yang bisa di bakar dari hujan?. Bukankah api akan padam oleh air?, begitulah pikirku
“Genderang perang akhirnya ditabuh juga.” Ujar Kakek Kijang
“Apa maksudnya Kek? Aku sungguh tidak mengerti.” Tanyaku bingung
“Membakar hujan itu berarti merubah air hujan menjadi lelehan api yang akan membakar apa saja yang dibasahinya. Maksudnya adalah kita akan berperang melawan makhluk berakal itu dan merebut kembali lahan dan hutan kita. Bahkan bertekad mengubah lahan tinggal makhluk berakal itu menjadi hutan dan lahan kita. Kata membakar hujan telah menjadi paham di kalangan kita yang tersisa ini sejak saat kondisi lahan dan hutan kita semakin memburuk. Kebakaran sudah terlalu sering terjadi tak teratasi, begitu pun pembalakan dan perburuan liar yang semakin menggila.” Jelas Pak Badak.
Aku mulai mengerti,kami diajak untuk membalas perbuatan mereka, tapi ketakutanku masih saja hinggap.
Suara riuh kemudian bergemuruh mengantikan suara guntur yang bersahut-sahutan. Seruan  membakar hujan telah membakar semangat mereka. Mereka menyambut seruan itu dengan gegap gempita. Melihat seruannya bersambut maka Harimau Andalas itu segera menugaskan Buaya-Buaya Kapuas untuk mencari informasi dan kawanan yang masih bertahan di tiap-tiap daerah untuk membentuk basis pertahanan dan serangan. Seketika percakapan diantara mereka berubah menjadi rapat penting penyusunan rencana pembalasan.
Tapi tidak denganku yang bersama Pak Badak dan Kakek Kijang. Kami keluar dari tempat singgah menempuh perjalanan ke Pintu Gerbang dan menanti jemputan si Piring Terbang yang akan membawa kami ke Havana.
Namun perjalanan kami seolah tak direstui, tetesan hujan telah berubah menjadi badai seolah inilah hukuman bagi kami yang tak ikut serta dalam aksi membakar hujan. Tapi tak mengapa karena Havana memang tujuan awal kami, salah satu alasan mengapa kami singgah di tempat itu sementara waktu.
Tak menyangka akan sepelik ini perjalanan kami ke Pintu Gerbang bahkan harus kehilangan Kakek Kijang yang kelelahan di tengah-tengah perjalanan, untuk selama-lamanya. Badai itu mengguyur kami selama tiga hari ini. Kakek Kijang tak mampu bertahan lagi. Setelah kehilangan Kakek Kijang, aku dan Pak Badak telah tiba di Pintu Gerbang. Selaksa kelegaan dan kebahagian terasa di hati ini. Kami pun segera menghampiri si penjaga pintu yang berkulit biru dan bermata lima dengan penuh pengharapan.
Tapi apa yang kami dengar sungguh sangat jauh dari pengharapan. Si penjaga pntu bermata lima dan berkulit biru itu dengan santainya berkata, “maaf, bumi libur hari ini, silahkan kembali lagi dua pekan mendatang”, dengan nada suara anehnya.
Kami lemas tak terhingga, ini sudah tepat dua pekan dari waktu yang sebelumnya. Mengapa hari ini bumi harus libur lagi? Aku mulai putus asa.
Pak Badak menunjukan wajah kecewa bercampur marah pada si penjaga pintu dan mulai menyeruduknya. Namun si penjaga pintu telampau kuat dan keras hingga Pak Badak malah terjatuh ke belakang.
Si penjaga pintu itu kemudian berkata, “ lalu lintas jalur bumi sedang padat, piring terbang belum bisa menembus kepadatan arus lalu lintas itu. Jadi bumi libur hari ini.”
Mendengar itu Pak Badak berteriak sekencang-kencangnya, meluapkan seluruh emosi jiwa atas kesedihan dan kekecewaannya. Aku hanya bisa berdiri di atas tanah basah yang merah, menggigil dan lapar.
Lapar dan menggigil, menggigil dan lapar, membuat Pak Badak meninggalkanku untuk mencari makanan, namun ia tak pernah kembali dalam sepekan hingga dua pekan. Aku mulai merasa payah dan berat, tapi ini sudah dua pekan. Maka kuseret kaki-kakiku menuju si penjaga pintu dan mulai bertanya.
“Apakah si Piring Terbang akan datang hari ini?” tanyaku lemah.
“Maaf, bumi libur hari ini, silahkan kembali lagi dua pekan mendatang.” Begitulah jawabnya
Mendengar itu membuat mataku semakin berat dan napas ini semakin payah, sepertinya hidupku juga akan libur panjang seperti bumi, bahkan lebih panjang dari dua pekan. Mengapa bumi libur hari ini?, ratapku lalu pergi entah menuju kemana, mungkin ke Havana. Melihat raga ini melayang-layang di bawah sinar putih yang menyilaukan, mungkin itu si Piring Terbang datang menjemput. Havana, aku datang.
“Maaf, bumi libur hari ini, silahkan kembali lagi dua pekan mendatang.”
END.

Sabtu, 01 September 2018

Diam



Aku bertanya padanya

Jawabannya adalah diam

Aku berteriak padanya

Jawabannya masih juga diam

Aku mulai menangis memohon

Ia masih saja diam

Akhirnya aku pun turut diam

Mencoba memahami yang tak bisa kupahami

Mencoba mendalami rasa dingin yang terus menjalari

Mencoba mengerti diam yang belum dapat kuterima

Tapi mau bagaimana diam hanya yang ia bisa kini

Sewaktu-waktu aku pun hanya akan mampu diam saja

Diam membisu seperti ia kini membujur kaku tertutup kain di depan mataku

Maka doa dalam diamku-lah yang mampu mengusik diamnya.

Jumat, 27 April 2018

Meet The Husband #1

sumber gambar : TinkyTyler.org
Tak pernah terbayangkan mengalami hal yang mengejutkan semengejutkan hari ini. Kedatangan Leon ke rumah sore ini membuat hidup ini jungkir balik. Mengapa harus hari ini? Dimana hati ini baru saja menyadari cinta yang dimulai sejak pandangan pertama..

“Aku enggak lama di sini Nas, cuma mau antar barang titipan Om Wirya dan langsung ke Bandung malam ini,ketemu Baby..”  Ujar Leon sambil tersenyum

Aku menghela napas panjang melihat Leon yang baru tiba dari L.A demi mengantar sebuah kotak kayu kecil yang kini tersimpan di meja makan berukuran kecil.

“Yakin bapakku enggak titip pesan apa-apa lagi?” tanyaku penasaran. Leon menggeleng pasti sambil menghabiskan nasi gudegnya, terlihat nikmat.

Pikiran ini mulai berat, mulai membenci bapak yang selalu menepati janjinya. Bapak pria yang taat janji. Berpegang teguh pada prinsip janji pria harus seperti merpati, karena merpati tak pernah ingkari janji. Mendadak aku benci sebuah lagu dengan judul yang sama.

“Oke, nasi gudegnya enak banget, thank you Nanas cantik. Bukannya enggak kangen, but I Have to go, see you dear.” Pamit Leon setelah kenyang makan dan minum.

“Oya, sekali lagi congrats ya, aku doakan yang terbaik buat kamu.” Tambah Leon sembari bangkit dari duduknya dan memelukku.

Benci rasanya mendengar Leon memberi selamat tapi apa mau dikata nasi sudah jadi bubur.

Langkah beratku mengantarkan Leon hingga ke pintu taxi on line yang dipesannya. Mobil dengan warna metalik itu menghilang seketika, meninggalkan aku yang masih terpaku di depan gerbang rumah yang bercat coklat setinggi tubuh jangkung ini.

“Teetttt!”

Suara klakson motor membawa kembali kesadaranku, Maya terlihat menyunggingkan senyum manisnya di atas motor bebek lawas yang dicat ungu.

“Aduh Mbak Ayune! Magrib-magrib gini kok bengong di depan rumah, nanti kesambet lho!”
Bibir ini tak kuasa menahan senyum,kami berdua masuk ke dalam rumah diiringi suara adzan magrib yang mulai bersahut-sahutan.

“Kamu kenapa tadi bengong Nas? Ada masalah?” Maya mulai melipat rukuh parasut birunya dan bertanya.

Aku mengangguk dan menggeleng, membuatnya bingung.

“Ada apa sih Nas? Kok kamu kayak orang linglung gitu.?”

Jari telunjukku menunjuk sebuah kotak kayu kecil berwarna coklat muda yang sudah berpindah tempat ke meja rias putih di samping kanan almari berpintu tiga.

Maya mengambil kotak kayu itu dan membawanya ke tempat kami shalat. Kotak itu kini berada di antara kami. Di atas hamparan karpet bulu berwarna merah muda.

“Kotak apa ini Nas?”

Kami memandangi kotak ini agak lama, lalu kuraih dan membukanya.

“Ini”, kotak yang kini terbuka kembali tersimpan di karpet

“WOW! Cincinnya cantik banget? Punya siapa?”

Cincin emas putih sederhana dengan hiasan batu safir biru berukuran kecil membulat di tengahnya, bertengger cantik di kotak kayu dengan bantalan hitam.

“Punyaku..” lemah suara ini terdengar.

“Jadi,apa masalahnya dengan cincin ini? Bukannya lumrah perempuan pakai cincin?”

“Itu cincin pernikahan May…” jawabku menggantung

“Pernikahannnya siapa? Kok ada di kamu?”

“A….ku.” mata ini menatap lurus mata Maya berusaha meyakinkan diri sendiri dan dirinya.

What?! Hallo kapan kamu married Jeng Nanas? Sama siapa? Aduh Kepala ini mulai bingung!” Maya yang terkaget-kaget mulai memijit-mijit kepalanya yang belum terbungkus kerudung.

Bingung harus menjelaskan darimana, karena kepala ini masih berat menerima kenyataan bahwa bapak menunaikan janjinya di tahun ini dan tanpa pemberitahuan sama sekali. Benar-benar sesuai perjanjian.

Pikiran kusut ini membawa ingatan kembali ke tiga tahun yang lalu, saat masih bersama bapak.

“Baik, Bapak akan ijinkan kamu kembali pulang ke Yogya dan tinggal di sana, sendirian. Tapi dengan satu syarat!” suara bapak yang berat terdengar begitu tegas di telinga.

Bapak yang saat itu mengenakan setelan kaos polo merah dan celana jeans pendek selutut, duduk saling berhadapan denganku di atas sofa hitam yang berbahan kulit

“Syarat?” tanyaku taku-takut.

Bapak yang masih terlihat gagah diusia senjanya, menggangguk mantap. Keriput di wajahnya justru mengguratkan keseriusan yang dalam.

“A..pa syaratnya Pak?” tanyaku dengan tangan yang mulai basah mandi keringat.

Bapak menghela napas panjang kemudian mata cokelatnya menatap lekat-lekat. Tangannya yang kokoh berwarna tembaga memegang pundak kecilku yang kala itu berumur dua puluh satu tahun.

“Bapak akan langsung menikahkanmu dengan lelaki pilihan bapak sesuai amanat mendiang bundamu. Kamu hadir atau tidak di sini.”

“Maksud Bapak, saya akan langsung bapak nikahkan meskipun saya tidak disini, bahkan tak pernah beremu dengan dia?”, tanyaku histeris

“Benar.” Jawab bapak singkat

Rasanya seperti tersengat listrik bertegangan tinggi, ingin protes namun raut wajah bapak sangat serius.

Entah mendapat wangsit darimana saat itu aku hanya merasa itu gertak sambel untuk mencegahku kembali Yogyakarta, ke rumah lama kami. Rumah yang penuh kenangan mendiang ibu.

“Lalu kalau tanpa pemberitahuan, bagaimana  saya tahu sudah dinikahkan?” tantangku.

“Bapak akan mengirim sebuah kotak kayu yang di dalamnya ada sebuah cincin. Itu tandanya kamu sudah bapak nikahkan. Cincin itu adalah cincin kawinmu.” Terang bapak.

Aku tertegun sesaat, rambut panjang yang terjulur sampai ke pinggang mulai terpilin. Bola mata hazel ini mulai bergerak ke kiri dan ke kanan. Menimbang –nimbang, entah mengapa lagi-lagi hati ini merasa itu hanya gertakan bapak untuk meruntuhkan keinginanku pulang ke rumah yang telah lama kami tinggalkan. Meninggalkan rasa sakit dan perih atas kepergian bunda untuk selamanya.

“Baiklah Pak, saya sepakat dengan syaratnya.” Jawabku mantap

Bapak tersenyum penuh kemenangan lalu menepuk-nepuk pundak ini dan berlalu meninggalkanku yang masih terduduk kaku berharap keputusan ini benar.

Tahun pertama di Yogyakarta berlalu dengan damai, bahkan menyenangkan. Bertemu dan berteman dengan Maya, gadis manis berlogat jawa ngapak yang sangat baik dan berhati hangat hingga membuat kami menjadi bersahabat.

Syarat yang bapak ajukan sama sekali tak terjadi, itu membuatku yakin bahwa syarat itu hanya gertak sambal.

Tahun kedua bahkan jauh lebih menyenangkan dan mengasyikan, aku dan Maya sama-sama diangkat menjadi guide tour tetap di perusahaan travel yang terkenal tempat freelance kami, dengan gaji yang menggembirakan

Di tahun kedua pun syarat bapak yang aku setujui tak pernah menjadi kenyataan. Akhirnya syarat itu benar-benar dihapus dalam ingatan, berlalu bersama hembusan angin sore di pantai Parang Tritis  saat bertugas mengantar tamu dari jepang.

Hati yang kujaga ketat agar tak pernah jatuh pada siapapun demi menepati syarat dari bapak, mulai longgar. Hingga tanpa tahu mata ini membawa masuk sesosok yang menarik hati saat pertama kali berjumpa. Ya it’s love at the first sight. Beberapa bulan yang lalu begitu masuk tahun ketiga di Yogya.

Tapi mengapa, syarat bapak justru malah terpenuhi di tahun ketiga ini. Kala hati ini telah tertambat sosok lain. Bagaimana aku bisa menerima suami piihan bapak yang hingga detik inipun tak tahu sosoknya seperti apa.

Apa yang harus kulakukan dengan hati yang terlanjur jatuh cinta ini? Air mata yang tertahan sejak tadi akhirnya mengalir deras. Maya yang masih kebingungan memelukku erat yang menangs sesenggukan.

Bersambung.

#Meet The Husband
#Part 1
#kelas fiksi.