Mata pisau itu terlihat mengkilat seakan siap untuk merobek
dan menusuk siapa saja yang dikehendaki.
Si pria tampan sejagat yang masih tersumpal dan terikat di
kursi merasa sedikit lega karena pisau itu tertancap di meja bukan di dadanya.
Suara sepatu yang beradu dengan lantai tak lama menyusul
pisau yang tertancap itu.
“Wow, what a surprise! Siapa yang sedang tersandera di sini.”
Ujar seseorang sambil mengambil pisau yang pegangannya berwarna merah marun.
Pupil mata si pria tampan sejagat tiba-tiba membesar melihat
pemilik derap sepatu itu.
“Ckckckckck….Aku sangat salut pada siapa saja yang melakukan
ini padamu, kawan lamaku yang tampan,” sambil melepaskan sumpalan di mulut yang
disebutnya kawan lama.
“Holla, apa kabar
kawan berbisaku? Sejak kapan kau suka minum teh? Hingga membawamu ke kedai teh
yang tutup, apa kau tak bisa membaca kata ‘closed’
di depan pintu?” Si pria tampan berucap dengan nada mengejek sambil
menyunggingkan senyum yang memuakan.
“Hahaha, kau masih saja menjengkelkan, tapi rasanya ingatanmu
mulai pikun, aku tak pernah masuk lewat pintu jika aku ingin masuk.” Balas si
pemilk pisau tertawa lepas sambil memainkan pisaunya.
“Holly Moly, aku lupa bahwa seekor ular tak pernah masuk
lewat pintu, dia hanya masuk lewat lubang dan menyelinap saja, sungguh tidak
punya etika.” Ejeknya lagi.
“Wah, kebiasaan burukmu membuat orang jengkel dan marah
memang tak berkurang dimakan usia, tapi sayangnya kau tak berdaya sekarang, kau
hanya seorang elang cacat. Sepertinya aku harus berterimakasih pada yang telah
menyanderamu sekarang.”
Si pria pemilik pisau mulai menggeledah pakaian si pria
tampan. Mencari sesuatu namun tak di dapatkannya.
“Kau tak akan bisa menemukan yang kau mau, tikus kecil yang
menyekapku seperti ini mungkin telah lari ke lubang yang paling kecil dan tak
bisa kau masuki.” Si pria tampan kembali
mengoceh.
Janik dan Moli yang mendengar percakapan mereka dari balik
tembok bawah jendela meja no 13 merasa tak karuan, antara takut ketahuan dan
penasaran.
Pastinya yang mereka tahu hanyalah situasi ini sangat
berbahaya. Mereka berdoa agar taman di balik jendela bertirai dekat meja no 13 itu luput dari incaran
mereka.
“Oh rupanya seekor tikus yang menyandera seekor elang, kau
kalah besar Alan.” Ujar pria pemilik pisau sambil memasukan pisaunya ke dalam
saku bajunya.
Alan? Ah jadi si pria
tampan itu bernama Alan. Pikir Janik masih sambil menutup mulutnya dan sesekali menahan napasnya.
“Geledah tempat ini, sampai lubang yang terkecil, carilah
seekor tikus, sekarang!” Perintah si pemilik pisau dengan suara menggelegar.
Jantung Janik dan Moli berdegup lebih kencang, keringat
dingin membasahi badan mereka, bahkan tangis Moli hampir tumpah karena takut. Mereka
saling berpergangan tangan.
Namun tiba-tiba terdengar suara tawa membahana, memecah
ruangan. Pria bernama Alan itu kembali tertawa terbahak-bahak membuat si
pemilik pisau melayangkan tinjunya ke wajah tampan Alan.
Buk! Darah pun mengalir dari mulut Alan, alih-alih sakit Alan
malah menyunggingkan senyuman mengejek.
“Cuh!” Alan
meludahi lantai dengan darah di mulutnya.
“Kau tahu Rapier, kau tidak mungkin menemukan si tikus itu di
sini. Aku sudah tersandera seorang diri selama 3 jam, kau tahu kan tikus sangat
pandai berlari dan bersembunyi?” Ujar Alan.
Pria bernama Rapier itu menempelkan pisau tajamnya ke pipi
Alan sambil menelisik kejujuran Alan. Bahkan ujung pisau itu mulai menyayat
kulit wajahnya, membuatnya meringis sedikit.
Mata mereka saling beradu, Alan tak bergeming meski kini
pisau nya perlahan menusuk otot bisep lengannya. Anyir darah mulai tercium
seiring deras alirannya membasahi kemeja Alan yang berwarna putih.
Rapier kemudian menarik pisaunya, hingga Alan terpekik, lalu
salah seorang pengikutnya membisikan sesuatu di telinganya.
“Baiklah sepertinya kau benar kali ini, semoga saja tikus itu
bersembunyi di lubang yang tepat. Ah ya, kali ini hanya lenganmu yang kuukir,
aku tak sabar untuk mengukir bagian tubuhmu yang lain Alan.”
“Kau tahu kau belum bisa melakukan itu saat ini Rap, Tuanmu
masih membutuhkanku untuk mencari yang diinginkannya, karena hanya aku yang
tahu dan kau tidak, Hahahaha.” Alan sepertinya tidak pernah bosan untuk tertawa
hingga satu tinjuan mendarat di pipi bagian lainnya.
Rapier beserta kawanannya pergi setelah membuat Alan tak
sadarkan diri dengan tinjuan terakhirnya.
Janik dan Moli yang masih gemetar dan lemas hanya bisa
terduduk lemas di tanah taman yang tak terlihat dari jendela yang tertutup
tirai.
Apa yang sedang kualami
ini? Semuanya begitu mendadak dan tak dapat dimengerti? Sebenarnya siapa yang
sedang kuhadapi saat ini? Aku sangat takut tapi aku harus melawan? Kepada siapa
aku harus meminta pertolongan? Ibu pasti juga sedang melawan bahaya saat ini? Ya
Allah tolonglah hamba.
Pinta Janik dalam hati.
“Uhuk!” Sura batuk membuat Janik dan Moli kembali terjaga dan
waspada.
Bersambung
#onedayonepost
#Odopbatch5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar