Tergolek dan terikat di kursi tak sadarkan diri, itulah
kondisi pria yang masuk ke kedai yang dipukul Janik.
Moli memegangi kepalanya dengan kedua tangan, tertekan,
melihat kenekatan sahabatnya, meski bukan yang pertama kali. Ia hanya bisa duduk
menyaksikan Janik mengamati pria itu dari dekat.
Janik meneliti dengan secermat-cermatnya wajah pria yang
matanya masih tertutup. Wajahnya sempurna, terlihat tampan bahkan saat mata
tertutup. Mengingatkan Janik pada seseorang.
Hanya saja ada keganjilan di bagian rambutnya, membuat Janik menarik
rambut pria itu, rambut pirangnya terlepas. Warna hitam legam kini menjuntai hingga ke bahu.
Moli hampir berteriak,lagi-lagi harus menutup mulutnya
melihat sosok asli pria yang kini disandera mereka. Janik pun merasa hal yang
sama dengan Moli, kaget, hanya saja rasa penasaran di kepala mengalahkan rasa
kaget yang menjerit di dada.
Si pria tampan sejagat kini menjadi sandera mereka. Janik langsung
menggeledah bagian celana dan kemeja mencari dompet untuk mengetahui
identitasnya.
Alih-alih mendapatkan dompet, Janik mendapati buku catatan
yang sama bentuk dan warnanya dengan milik si pria tambun yang tersembunyi dalam kaos putih dibalik kemeja yang
dipakainya.
Janik langsung mengambil buku itu dan hendak mmembacanya,
namun…
“Kamu kalau mau buku itu, akan saya berikan tanpa kekerasan
seperti ini,” ujar si pria tampan sejagat yang tersadar. Pening terasa di bagian kepalanya.
Janik spontan menghetikan jemarinya untuk membuka buku
catatan itu, sedang Moli mulai ketakutan dan memilih berjaga di belakang Janik,
khawatir akan ada tamu tak diundang lagi.
Janik menatap Si pria tampan sejagat itu dengan tatapan datar
nyaris dingin, menutupi kegelisahan dan rasa penasarannya.
“Bisakah kita bicara dengan damai tanpa terikat tali?” Pinta
si pria tampan sejagat itu dengan tenang.
Janik masih menatapnya lurus sama seperti sebelumnya lalu tak
lama menggelengkan kepalanya.
“Holla, baiklah terikat ditemani wanita cantik tidak buruk
juga.” Guraunya sembari melempar senyuman.
“Apa hubunganmu dengan Samantha?” Tanya Janik to the point, senyuman pria yang pernah dikaguminya itu tak menggoyahkannya.
“Wow, strike one! Sepertinya
sifat to the point dan tergesa milik seseorang menurun padamu.” Jawab Si pria
tampan sejagat itu melenceng.
“Jawab!” Janik yang tak bergeming dengan ucapannya member tekanan
lebih pada suaranya.
“Well, Samantha sepertinya menutupi banyak hal darimu, tapi
dimana dia sekarang mengapa kamu sampai meyekapku seperti ini, apa dia tahu
kamu melakukan ini, atau jangan-jangan dia…?” suaranya terdengar seperti nada
mengejek dan mata si pria tampan sejagat itu menelisik mata Janik dengan tajam
Janik masih tidak bergeming meski ditatap seperti itu Ia
kembali berkata, “Jawab!” tegas.
Senyuman terukir di bibir si pria tampan yang kemudian di
susul suara tawa yang terbahak-bahak menggema di seluruh ruangan.
Moli yang turut mendengar suara tawa itu, memilih menutup
kedua telinganya dan tetap memperhatikan bagian depan kedai bak mata-mata.
Si pria tampan sejagat itu terus saja tertawa geli dan terbahak
layaknya orang yang menonton stand up komedi.
Janik tetap dingin dan tak bergeming, menahan rasa jengkel di
hati, tapi Janik merasa dia harus bertahan, pria yang ada di hadapannya kini
sedang berusaha mengocek emosinya.
Suara tawa Si pria tampan sejagat itu tiba-tiba terhenti oleh
sebuah sumpalan yang masuk dengan cepat ke dalam mulutnya. Moli menyumpalnya
dengan kain serbet yang tersimpan di meja kasir.
Janik tercengang dengan sikap Moli, namun Moli memberi isyarat
bahwa ada tamu tak diundang lainnya datang yang mungkin akan segera masuk kedai
dalam jumlah yang tak sedikit.
Moli nampak sekali takut dan tegang, Janik yang sedari tadi
menahan emosinya, kini mulai menegang, otaknya berputar cepat mencari solusi.
Apa yang harus aku
lakukan? Pekik Janik
dalam hati, tangannya mulai basah.
Si pria yang tersumpal mulutnya pun mulai merasa tegang, bertanya dalam hati siapa gerangan yang datang? Namun apa daya? dirinya terbelenggu.
Sementara itu suara derap sepatu mulai terdengar dari dalam
area kedai tak hanya satu, dua, atau tiga. Menciptakan ketegangan dan kebekuan
di antara Moli dan Janik.
Mata Janik dan Moli mulai beradu, disusul keringat yang mulai
mengucur di wajah, punggung dan tangan.
Sebilah pisau akhirnya menjadi pemecah kebekuan diantara mereka.
Bersambung
#onedayonepost
#Odopbatch5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar