sumber gambar : gambar.co.id/kalimantan pers/google.
“Eh kamu udah taubat?!”
ucapan bernada kaget keluar dari mulut seorang gadis cantik berambut sebahu berseragam
putih abu begitu bertemu dengan sesama gadis yang juga berseragam serupa, hanya
saja kerudung putih membingkai wajahnya. Sebuah senyuman langsung tersungging
di wajah gadis berkerudung putih itu seraya berkata,”hehehe, biasa aja kali teh”, guraunya. Gadis berambut sebahu
yang dipanggil teh itu manguk-mangguk sambil ikut tersenyum lalu
melambaikan tangan sebagai tanda berpisah. Masih tampak jelas di raut wajah
cantiknya rasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lambaian dibalas
lambaian, kini tinggalah gadis berkerudung putih itu masuk ke dalam toilet
bercat biru yang sedari tadi ditunggunya kosong. Pertemuan tanpa sengaja memang
bisa menimpa siapa saja seperti kejadian di toilet sekolah siang ini. Hari pertama
resmi menjadi siswa SMU malah membawa pikiran gadis berkeredung putih itu ke
masa lalu. Mengingat tadi ekspresi salah satu kakak kelasnya di SMP dulu melukiskan
rasa tak percaya melihat sosoknya kini.”Segitu bandelnya ya saya?sampai orang
pada heran, hadeuuh!” rutuknya sambil
melangkah meninggalkan toilet yang mulai didatangi siswa lain.
“Mata kamu tajam ya,
nyeremin ih!” komentar tiba-tiba
seorang gadis tionghoa berambut panjang sepunggung, begitu gadis berkerudung
itu tiba dan duduk di bangku deretan terdepan. Agak sedikit geli mendengar
komentar teman barunya itu, yang kini berjongkok disamping meja. “Memangnya
mata saya silet? Pake tajam segala”
jawab gadis berkerudung itu sambil berkelakar. Mereka pun tertawa bersama, ia
tahu bahwa teman tionghoanya itu hanya berusaha mengakrabkan diri sebagai sesama
siswa baru. Gadis berkerudung putih sadar betul dengan kondisi fisiknya,
terutama bagian mata. Anggota wajah yang satu ini sering menuai komentar kurang
menyenangkan dari orang yang belum mengenalnya. Mulai dari galak, sinis, seram,
dan tentu saja tajam terlabel di sana. Bahkan cap tiga bersaudari berwajah
galak ditempelkan oleh orang-orang terdekat. Apa karena ukuran mata yang besar
semua itu terjadi? Alamak! Ini pantasnya dinilai apa? Sanjungan atau hinaan? Tidak
keduanya bagi si gadis berkerudung putih. Hiburan! Demikianlah cara ia
memandang semua label itu.
Acuh terhadap pelabelan
menumbuhkan keberanian, yang bisa jadi kebablasan. Mungkin itulah yang terjadi
pada gadis berkerudung putih di masa lalu. Keberanian yang bablas itu menyeretnya menjadi jagoan di rumah dan di sekolah,
sampai lupa kalau masih anak ingusan.”Hey,si ujang sepatunya baru.” Sebuah anggukan
dan senyuman meluncur cepat dari gadis berambut super cepak, dengan seragam putih biru yang baru tiba di kantin sekolah. Sepatu warrior berwarna hitam dengan tali yang masih putih bersih menandakan
sepatu itu baru,” Ah si Emang mah apal wae!” jawabnya kemudian
sambil menadahkan tangan. Sebuah kunci berwarna putih diserahkan pria yang disebut
emang pada si gadis cepak dengan
sepatu baru yang memunculkan suara berdecit di lantai abu-abu. Lalu decitan
sepatu itu meninggalkan kantin menuju sebuah tempat. Dalam perjalanan, ia
melewati lorong yang cukup sepi dari siswa pada jam istirahat. Hanya ada
beberapa siswa yang bergumul di ujung sana. Hidung gadis cepak itu mengendus sesuatu yang busuk, menarik jiwa jagoannya
keluar menghampiri gumulan siswa di ujung lorong kecil yang cukup gelap dan
sepi. Aura kegagahan nampak bermunculan dan menyebar bagai wangi parfum yang
baru disemprotkan. begitu berhadapan dengan mereka. Sebuah gerakan kepala
mengisyaratkan seorang anak lelaki yang kurus kering untuk pergi dari sana. Dengan
takut-takut anak lelaki itu menurut dan lari tunggang langgang. Kini tersisa tatapan
amarah dari empat anak lelaki yang tersisa, siap melumatkan seorang siswi yang
menatap mereka tak kalah tajam dan menantang. Terjadilah adu pandang antar
mereka dan “bukk!” sebuah tinjuan mendarat di salah satu anak lelaki yang marah
itu sebagai balasan dorongan di bagian pundak. Bubar dengan damai menjadi
pilihan akhir mereka sebelum ada lagi yang terluka.
Si gadis meneruskan
perjalanannya, dari ujung lorong itu ia berbelok ke kanan lalu ke kiri, nampak
sebuah bangunan kecil, putih, bersih, dan masih terkunci. Terdapat tulisan ‘MUSHALA’
di depan pintu bercat biru tua saat gadis itu membukanya. Sepatu baru itu kini
bertengger di rak susun berbahan kayu, sebagian anggota badannya telah basah
oleh air dari keran yang berjejer di depan bangunan kecil itu. Lemari kaca berisi
penuh mukena yang di dominasi warna putih itu berkurang satu. “Allah hu Akbar.”
Lirih terdengar suara takbir dari gadis yang kini berselimut mukena putih. Dua rakaat
shalat itu diakhirinya dengan doa, tak lama karena waktu terus mengejar. Pukul 10.25
tertunjuk di dinding, lima menit lagi bel tanda masuk akan berdentang. Buru-buru
gadis itu bebenah, mengunci pintu, memakai sepatu, lalu berlari sekuat tenaga
kembali ke kantin. Sambil terengah dan keringat yang mengucur di dahi meminta
ijin guru untuk masuk kelas karena sedikit terlambat.”Timana ari murid pinter, ti perpus nya?” , anggukan kecil menjadi
jawaban singkat untuk lekas duduk di bangku depan demi melepas lelah. Gara-gara kapanggih si Godzilla di lorong,
jadi we telat, heuuh. Kesalnya dalam hati.
Itulah ia dimasa berseragam
putih biru, label jagoan sudah kadung tersebar ke seantero sekolah, meskipun
hanya delapan bulan bersekolah di sana. Wajar bila kini bertemu dengan kakak
kelasnya dulu merasa tak percaya pada perubahan yang jauh dari angan-angan. Pindah
sekolah baru saat itupun tak ada ubahnya sama saja. Hingga sebuah ancaman datang
dari orang terkasih.”Kalau Ade enggak mau pakai kerudung ke sekolah sama keluar
rumah, mama potong uang jajan 50%!”. Takluk, tunduk, dan tak berkutik, hanya
bisa mengagguk lemah, pasrah dan menyerah. Meski kadang masih membandel
lepas-pakai saat bertualang dengan teman sebaya. Rambut super cepak kini
tertutup rapi dengan kerudung putih bersih yang bersihnya hanya tahan sampai
siang. Rok panjang yang menutup hingga ke bagian tumit seringkali robek dan
dijahit ulang. Tapi itulah proses, meski membuat yang melihat geleng-geleng
kepala, tapi tak ada yang pernah tahu menghasilkan apa. Entah ancaman yang
terlalu kuat atau doa yang tak terlihat membuat si gadis berambut cepak
kehilangan rasa jagoan yang lama tertanam di benak. Ia kini lebih suka
menghindar dari kontrak film action
yang melambungkan namanya.
Terjemahan :
1. Teh adalah panggilan kepada kakak perempuan atau yang lebih tua usianya dalam bahasa sunda
2. Ujang panggilan untuk anak laki-laki
3. Ah si Emang mah apal wae!” : Ah paman tahu saja!
4. Timana ari murid pinter, ti perpus nya?”: darimana sih murid pintar ini, dari perpus ya?
5. Gara-gara kapanggih si Godzilla di lorong, jadi we telat, heuuh.: Gara-gara bertemu si Godzilla di lorong jadi saja terlambat, heuuh.
#onedayonepost
#kelasfiksi
#belajar deskripsi
Keren atuh. Suka ey ^_^
BalasHapusHehehe, makasih mba Nia, dah paling pagi aja ππ
HapusSerius nih jagoan?
BalasHapusHmmmm,tebak saja pak π
HapusMakasih pak sudah mampir
HapusMeni keren pisan euy, π
BalasHapusEh ada Rafiy, makasih udah mampir π
HapusGara-gara kapanggih si Godzilla di lorong, jadi we telat, heuuh.
BalasHapusBeuh, saya suka kalimatnya XD
Ketawa tiba-tiba sehabis baca.. Wkwk
Keep writing! Keep fighting! ^o^)/
Writing fighting ππ
HapusWaah.. Mbak putri pernah jadi jagoan ya...π
BalasHapusJago kandang mba πππ, makasih mba sdh mampir
HapusLumayan bagus nih pendeskripsiannya
BalasHapusSemangat
Makasih mba wid, masih harus terus belajarπ, terimakasih sudah mampir mba widπ
BalasHapusKetemu si jagoan euy~ ngeri wkwkwkwk
BalasHapusWkwkwkw, makasihbmba jelly dah mampir π
Hapus