Selasa, 03 April 2018

Masa Itu

sumber gambar : gambar.co.id/kalimantan pers/google.




Eh kamu udah taubat?!” ucapan bernada kaget keluar dari mulut seorang gadis cantik berambut sebahu berseragam putih abu begitu bertemu dengan sesama gadis yang juga berseragam serupa, hanya saja kerudung putih membingkai wajahnya. Sebuah senyuman langsung tersungging di wajah gadis berkerudung putih itu seraya berkata,”hehehe, biasa aja kali teh”, guraunya. Gadis berambut sebahu yang dipanggil teh  itu manguk-mangguk sambil ikut tersenyum lalu melambaikan tangan sebagai tanda berpisah. Masih tampak jelas di raut wajah cantiknya rasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lambaian dibalas lambaian, kini tinggalah gadis berkerudung putih itu masuk ke dalam toilet bercat biru yang sedari tadi ditunggunya kosong. Pertemuan tanpa sengaja memang bisa menimpa siapa saja seperti kejadian di toilet sekolah siang ini. Hari pertama resmi menjadi siswa SMU malah membawa pikiran gadis berkeredung putih itu ke masa lalu. Mengingat tadi ekspresi salah satu kakak kelasnya di SMP dulu melukiskan rasa tak percaya melihat sosoknya kini.”Segitu bandelnya ya saya?sampai orang pada heran, hadeuuh!” rutuknya sambil melangkah meninggalkan toilet yang mulai didatangi siswa lain.

“Mata kamu tajam ya, nyeremin ih!” komentar tiba-tiba seorang gadis tionghoa berambut panjang sepunggung, begitu gadis berkerudung itu tiba dan duduk di bangku deretan terdepan. Agak sedikit geli mendengar komentar teman barunya itu, yang kini berjongkok disamping meja. “Memangnya mata saya silet? Pake tajam segala” jawab gadis berkerudung itu sambil berkelakar. Mereka pun tertawa bersama, ia tahu bahwa teman tionghoanya itu hanya berusaha mengakrabkan diri sebagai sesama siswa baru. Gadis berkerudung putih sadar betul dengan kondisi fisiknya, terutama bagian mata. Anggota wajah yang satu ini sering menuai komentar kurang menyenangkan dari orang yang belum mengenalnya. Mulai dari galak, sinis, seram, dan tentu saja tajam terlabel di sana. Bahkan cap tiga bersaudari berwajah galak ditempelkan oleh orang-orang terdekat. Apa karena ukuran mata yang besar semua itu terjadi? Alamak! Ini pantasnya dinilai apa? Sanjungan atau hinaan? Tidak keduanya bagi si gadis berkerudung putih. Hiburan! Demikianlah cara ia memandang semua label itu.

Acuh terhadap pelabelan menumbuhkan keberanian, yang bisa jadi kebablasan. Mungkin itulah yang terjadi pada gadis berkerudung putih di masa lalu. Keberanian yang bablas itu menyeretnya menjadi jagoan di rumah dan di sekolah, sampai lupa kalau masih anak ingusan.”Hey,si ujang sepatunya baru.” Sebuah anggukan dan senyuman meluncur cepat dari gadis berambut super cepak, dengan seragam putih biru yang baru tiba di kantin sekolah. Sepatu warrior berwarna hitam dengan tali yang masih putih bersih menandakan sepatu itu baru,” Ah si  Emang mah apal wae!” jawabnya kemudian sambil menadahkan tangan. Sebuah kunci berwarna putih diserahkan pria yang disebut emang pada si gadis cepak dengan sepatu baru yang memunculkan suara berdecit di lantai abu-abu. Lalu decitan sepatu itu meninggalkan kantin menuju sebuah tempat. Dalam perjalanan, ia melewati lorong yang cukup sepi dari siswa pada jam istirahat. Hanya ada beberapa siswa yang bergumul di ujung sana. Hidung gadis cepak itu mengendus sesuatu yang busuk, menarik jiwa jagoannya keluar menghampiri gumulan siswa di ujung lorong kecil yang cukup gelap dan sepi. Aura kegagahan nampak bermunculan dan menyebar bagai wangi parfum yang baru disemprotkan. begitu berhadapan dengan mereka. Sebuah gerakan kepala mengisyaratkan seorang anak lelaki yang kurus kering untuk pergi dari sana. Dengan takut-takut anak lelaki itu menurut dan lari tunggang langgang. Kini tersisa tatapan amarah dari empat anak lelaki yang tersisa, siap melumatkan seorang siswi yang menatap mereka tak kalah tajam dan menantang. Terjadilah adu pandang antar mereka dan “bukk!” sebuah tinjuan mendarat di salah satu anak lelaki yang marah itu sebagai balasan dorongan di bagian pundak. Bubar dengan damai menjadi pilihan akhir mereka sebelum ada lagi yang terluka.

Si gadis meneruskan perjalanannya, dari ujung lorong itu ia berbelok ke kanan lalu ke kiri, nampak sebuah bangunan kecil, putih, bersih, dan masih terkunci. Terdapat tulisan ‘MUSHALA’ di depan pintu bercat biru tua saat gadis itu membukanya. Sepatu baru itu kini bertengger di rak susun berbahan kayu, sebagian anggota badannya telah basah oleh air dari keran yang berjejer di depan bangunan kecil itu. Lemari kaca berisi penuh mukena yang di dominasi warna putih itu berkurang satu. “Allah hu Akbar.” Lirih terdengar suara takbir dari gadis yang kini berselimut mukena putih. Dua rakaat shalat itu diakhirinya dengan doa, tak lama karena waktu terus mengejar. Pukul 10.25 tertunjuk di dinding, lima menit lagi bel tanda masuk akan berdentang. Buru-buru gadis itu bebenah, mengunci pintu, memakai sepatu, lalu berlari sekuat tenaga kembali ke kantin. Sambil terengah dan keringat yang mengucur di dahi meminta ijin guru untuk masuk kelas karena sedikit terlambat.”Timana ari murid pinter, ti perpus nya?” , anggukan kecil menjadi jawaban singkat untuk lekas duduk di bangku depan demi melepas lelah. Gara-gara kapanggih si Godzilla di lorong, jadi we telat, heuuh. Kesalnya dalam hati.

Itulah ia dimasa berseragam putih biru, label jagoan sudah kadung tersebar ke seantero sekolah, meskipun hanya delapan bulan bersekolah di sana. Wajar bila kini bertemu dengan kakak kelasnya dulu merasa tak percaya pada perubahan yang jauh dari angan-angan. Pindah sekolah baru saat itupun tak ada ubahnya sama saja. Hingga sebuah ancaman datang dari orang terkasih.”Kalau Ade enggak mau pakai kerudung ke sekolah sama keluar rumah, mama potong uang jajan 50%!”. Takluk, tunduk, dan tak berkutik, hanya bisa mengagguk lemah, pasrah dan menyerah. Meski kadang masih membandel lepas-pakai saat bertualang dengan teman sebaya. Rambut super cepak kini tertutup rapi dengan kerudung putih bersih yang bersihnya hanya tahan sampai siang. Rok panjang yang menutup hingga ke bagian tumit seringkali robek dan dijahit ulang. Tapi itulah proses, meski membuat yang melihat geleng-geleng kepala, tapi tak ada yang pernah tahu menghasilkan apa. Entah ancaman yang terlalu kuat atau doa yang tak terlihat membuat si gadis berambut cepak kehilangan rasa jagoan yang lama tertanam di benak. Ia kini lebih suka menghindar dari kontrak film action yang melambungkan namanya.

Terjemahan :

1.    Teh adalah panggilan kepada kakak perempuan atau yang lebih tua usianya dalam bahasa sunda

2.    Ujang panggilan untuk anak laki-laki

3.    Ah si  Emang mah apal wae!” : Ah paman tahu saja!

4.    Timana ari murid pinter, ti perpus nya?”: darimana sih murid pintar ini, dari perpus ya?

5.    Gara-gara kapanggih si Godzilla di lorong, jadi we telat, heuuh.: Gara-gara bertemu si Godzilla di lorong jadi saja terlambat, heuuh.

#onedayonepost
#kelasfiksi
#belajar deskripsi




15 komentar:

  1. Balasan
    1. Hehehe, makasih mba Nia, dah paling pagi aja 😍😁

      Hapus
  2. Meni keren pisan euy, 😍

    BalasHapus
  3. Gara-gara kapanggih si Godzilla di lorong, jadi we telat, heuuh.

    Beuh, saya suka kalimatnya XD
    Ketawa tiba-tiba sehabis baca.. Wkwk

    Keep writing! Keep fighting! ^o^)/

    BalasHapus
  4. Waah.. Mbak putri pernah jadi jagoan ya...😎

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jago kandang mba πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚, makasih mba sdh mampir

      Hapus
  5. Lumayan bagus nih pendeskripsiannya
    Semangat

    BalasHapus
  6. Makasih mba wid, masih harus terus belajarπŸ˜†, terimakasih sudah mampir mba wid😊

    BalasHapus
  7. Ketemu si jagoan euy~ ngeri wkwkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwkw, makasihbmba jelly dah mampir 😁

      Hapus