Minggu, 15 April 2018

Hanya Benci (Tantangan Hewan Peliharaan)

sumber gambar : wikipedia

Melihatmu dalam film sangat aku sukai. Apalagi saat aksi heroik dengan tuan tampan berambut blonde. Namun rasa suka ini hanya sebatas itu. Jadi maaf saja jika wujudmu dalam film hadir dalam realitas hidupku , suka ini akan berubah jadi benci, sebenci-bencinya, sangat.

Siapa sangka suka ini berganti juga jadi benci, kedatanganmu ke rumah di sore hari yang mendung menambah gelap suasana hatiku. Bapak dengan senang dan bangga membawa dan memberimu tempat bernaung tepat di halaman depan rumah. Itu sangat membuat jengkel, mengingat aku harus melewati polisi berbulu setiap masuk dan keluar rumah. Mendidih otak ini.

Wajah masam ini tidak mampu membuat bapak atau penghuni rumah yang lain protes untuk mengusir penghuni baru yang kubenci. Itu semua pasti karena bulu cokelat putihnya yang lebat serupa salah satu actor film ternama di jenisnya, Hachiko. Nama itu pun resmi menjadi panggilanmu atas alasan yang sama.

Entah karena diberi nama serupa atau memang anjing sejenismu punya  kebiasaan yang sama dalam film?. Hampir setiap pagi aku mandi keringat saat pergi sekolah, menghindar, menjauh, dan mengatasi rasa takut digigit taring tajam dari mulut yang senang berliur. Kemeja putihku menjadi cepat bau dan rok biru padanannya selalu kusut. Pundak ini sering terasa pegal karena berlari sambil menggendong tas ransel biru yang penuh dengan buku.Tapi berbanding terbalik denganmu yang menganggap itu adalah cara untuk bersenang-senang. Tanpa bosan terus mengekor di pagi hari bahkan saat hujan turun. Cih! Dasar anjing! Bersenang-senang di atas penderitaan orang lain.

Dua bulan sudah aku dalam penderitaan, hati ini sudah teramat lelah menahan amarah, rasa takut, dan kejengkelan yang semakin besar setiap harinya. Hati ini panas, amarah pun  semakin memuncak hingga menyesakan dada. Terkadang obat lambung meluncur di tenggorokan karena asam lambung yang naik sebab emosi. Saat itu terpikir perkataan teman yang mulai tak nyaman dengan emosi burukku.” Karena ada anjing, rumahmu jadi tak dikunjungi malaikat, makanya setannya banyak, bikin kamu marah, dongkol, dan mengomel tak jelas”. Mungkin dia ada benarnya. Tak tahan lagi, harus kuadukan semua penderitaan ini. Hak tenang dan aman sudah terenggut sejak kedatanganmu. Bisa gila kalau jadi berkepanjangan. Pilihan jatuh pada ibu sebagai tempat mengadu.

Reaksi ibu ternyata jauh dari harapan, sabar lebih lama adalah permintaannya padaku. Itu artinya penderitaan masih belum bisa usai buatku. Putus asa dan kecewa membuat tangisan ini tumpah di bantal. Di kamar berdinding kuning dan berpintu biru, kutumpahkan semua kekesalan, rasa kecewa, dan kesedihan menjadi satu dalam sebuah tangisan panjang yang entah berapa lama.

Subuh menjelang, mata ini lengket seperti diberi lem karet, kutatap wajah di cermin, sungguh mengerikan, mirip nenek sihir dalam film Snow White. Kamar mandi menjadi tujuan selanjutnya, mandi lalu berwudlu dan shalat. Mengingat ini hari minggu, kuputuskan untuk jalan-jalan ke alun-alun kota sekedar olahraga kecil untuk mengurangi rasa sedih dan kecewa. Celana panjang berbahan  kaos berwarna hijau tua berpadu kaos lengan pendek hitam menjadi pilihan, tak lupa kaos kaki putih dan sepatu olahraga berwarna senada melengkapi. Rambut sebahu yang telah tersisir rapi berikut poni yang menutupi dahi terlihat sempurna. Terakhir tas gemblok kecil tempat menyimpan dompet kugendong dibelakang. Siap berangkat.

Suasana subuh begini, semua anggota keluarga masih betah di kamar masing-masing. Dua orang kakak laki-laki dan tentunya ibu dan bapak belum nampak ada yang keluar kamar. Hendak pamit tapi khawatir mengangu, aku lebih memilih menulis memo yang tertempel di kulkas. Lagi pula ibu sudah mengerti betul aktivitas jalan-jalan ke alun-alun kota setiap minggu rutin dalam agendaku. Selesai menulis memo, kaki ini menuju pintu utama rumah. Akses utama keluar masuk rumah, karena tak ada pintu lainnya. Pintu tinggi berwarna biru laut siap dibuka ketika kuncinya sudah terbuka. Namun terbukanya pintu justru membawa mimpi buruk terjadi. Begitu pintu baru sedikit dibuka, seonggok kepala penuh bulu menerobos masuk, sontak membuat kaget dan kaki ini refleks berlari. Kejar-kejaran bak polisi dan penjahat pun terjadi. Berlari  mengelilingi meja makan jati dengan enam kursi berwarna coklat tua. Ingin menjerit namun malah tangis tanpa suara yang keluar sambil terus melaju, memacu lari dengan lebih cepat.

Napas ini mulai tersengal, keringat bercucuran dimana-mana. Tetesan keringat dan air mata hampir sama banyaknya. Kujatuhkan kursi makan untuk menghadang laju larinya, hingga menimbulkan bunyi gaduh beradu dengan gaduhnya gonggongan. Tapi karena itu tanganku ditarik kakak lelakiku masuk ke kamarnya yang berada di depan ruang makan. Si tuan berbulu itu masih hendak mengejar, namun wajahnya terjepit di pintu yang ditahan kakak.

Tuan berbulu itu mengonggong namun tersekat, mulutnya masih terjepit pintu. Kondisi kakak lelakiku yang baru saja bangun, membuatnya membutuhkan sedikit waktu untuk mengumpulkan nyawa agar sadar seutuhnya. Aku duduk di ranjang kayu miliknya dan menangis sesenggukan, gemetaran, dan syok. Tak lama polisi berbulu itu digelandang menuju posnya. Bapak dan ibu langsung ramai di meja makan. Kakak laki-laki tertuaku membawakan segelas air putih, yang hanya kuteguk sedikit saja. Ibu menghampiri dan memeluk menenangkan, tangisan ini kembali pecah.

Setelah tenang aku kembali ke kamar, sambil mengingat lagi kejadian tadi, bukan Hachiko yang beraksi kejar-kejaran di ruang makan bersamaku. Bulu anjing itu berwarna emas, sepertinya ukurannya pun lebih besar dari Hachiko. Benar saja, anjing itu anjing baru yang di bawa bapak semalam, begitu kata ibu ketika mengantar sarapan ke kamar. Belum usai ketakutan dan rasa lelah terhadap keberadaan Hachiko, anjing blonde baru itu sudah mau menerkamku diawal perjumpaan. Ujian macam apa ini? Mengapa penderitaan ini bukannya berkurang bahkan justru bertambah. Rasa takut dan putus asa kembali menggelayut di wajah yang sudah kusut sejak subuh. Sambil menyantap makanan, air mata ini tak terbendung terus mengalir. Apa harus ada insiden dulu baru semua orang mengerti aku menderita? Kalau memang iya, menyesal diri ini tak biarkan si anjing baru itu menggigit tangan atau kaki subuh tadi. Berlama-lama di bawah rasa takut dan tekanan membuat kepala ini hampir gila.

Hari senin pagi, pikiranku yang gamang sejak kemarin masih dengan kondisi yang sama. Hari ini akan ada aksi nekat yang bisa membuat semua tahu bahwa keberadaan anjing-anjing itu membawa penderitaan buatku. Seragam putih biru telah rapi menempel di badan pun sepatu di kaki dan tas ransel yang penuh buku bergelayutan di punggung. Biasanya aku sudah ancang-ancang untuk berlari menghindari kejaran si Hachiko yang rantainya selalu dilepas setiap pukul setengah tujuh di hari kerja, berbarengan dengan kegiatan olahraga pagi bapak. Sialnya si Hachiko selalu memilih sarapan daripada ikut bapak berolahraga. Kuintip keberadaan si Hachiko dari jendela terlebih dahulu, ya ia masih sarapan. Si anjing baru yang berbulu blonde masih meringkuk dan terantai. Baiklah satu anjing dulu cukup, aku pun sudah pasrah untuk hal terburuk yang akan menimpa.

Dua kakak laki-lakiku masih asyik sarapan, jika nanti aksi nekat ini berjalan mulus, dua kakak laki-lakiku akan langsung menolongku begitu tiba di jalan setapak saat akan pergi ke sekolah. Kubuka pintu perlahan, lalu berjalan dengan tenang, ya berjalan tidak lagi berlari. Sambil melirik kebelakang, benar saja si Hachiko mulai membuntuti sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Jalan setapak dari rumah menuju jalan raya terlihat sepi, aku mulai ketakutan, si Hachiko makin mendekat. Tiba-tiba nyali besarku mendadak hilang, berlari kencang menjadi pilihan akhir. Beruntung ada angkot 07 yang sedang berhenti karena penumpangnya turun begitu tiba di jalan raya. Tanpa pikir panjang aku langsung naik, meninggalkan si Hachiko yang masih mengejar. Angkot yang kutumpangi melaju tak lama setelah aku duduk di bangku belakang supir. Namun tiba-tiba penumpang yang duduk di belakang ribut melihat ke arah jalan raya. Mereka bilang ada anjing yang tertabrak, batin ini tersentak jangan-jangan anjing itu si Hachiko? Ah sudahlah, bisa juga anjing lainnya.

Sepulang sekolah terlihat ada yang berbeda , halaman rumah yang biasanya dijaga makhluk berbulu, kini sepi penjagaan. Aku masuk rumah dengan tenang. Selesai berganti baju menuju ruang makan untuk makan siang. Kulihat ibu juga baru akan makan. Ia memanggil begitu melihatku muncul untuk makan bersama.

“Bu, si Hachiko dan temannya kemana? Main ya?” tanyaku penasaran sambil menyendok sayur lodeh .

“Si Hachiko mati ketabrak mobil tadi pagi, udah dikubur sama bapak di gunung belakang. Kalau anjing satunya, sudah dibawa teman bapak tadi siang, untuk hadiah ulang tahun anak laki-laki teman bapak.” Papar ibu yang kemudian mulai menyendok bakwan jagung.

Pikiran ini termenung, jadi anjing yang tertabrak pagi tadi benar si Hachiko. Apakah dia mati karena kubenci? 

Memang aku membenci area mulutnya yang selalu basah oleh air liur yang menetes, najis jika mengenai tubuh atau pakaian, dan sangat repot ketika membersihkannya dengan tanah. Wajah dan tubuhnya yang berbulu terlihat menakutkan  jika bukan di film. Ditambah aksinya yang selalu membuntuti setiap pagi dan terkadang siang membuat stress, karena yang tertanam di benak, ia akan menggigit dan mengoyak salah satu bagian tubuh ini. Gongongannya yang berisik membuat konsentrasi belajar terganggu karena lokasi kamarku dekat ruang tamu bagian depan rumah, paling dekat dengan kamarmu.Akibatnya nilai ulangan harianku jeblok selama ia di rumah ini.

Begitu besar kebencianku padamu tapi tak pernah sekalipun terlintas dalam benak ini, berharap kematianmu. Aku hanya berharap kamu pergi dari rumah ini. Tinggal di rumah dimana semua penghuninya menyukaimu dan tak ada yang menderita karena itu. Rumah yang penghuninya menginginkan keberadaan dan mengerti bahasa tubuh dan gonggonganmu. Hanya ingin kau pergi bukan kau mati. Rasa benci ini tak akan mampu membawamu mati, jika mampu seharusnya sejak awal kematian datang menjumpaimu. Hati ini hanya mampu membencimu saja, karena mendatangkan kematian bukan kemampuanku. Semoga kamu senang di sana Hachiko.

#tantangan fiksi hewan peliharaan.
#kelas fiksi
#odop batch 5

3 komentar:

  1. Ah... kebawa perasaan nih... suka gitu juga saya bun kalo sama anjing... takut, enggak suka, tp... sedih juga kalo tau mati ketabrak gitu 😢

    BalasHapus