sumber gambar : B-one/google
Gito menangis
sedih sambil duduk bersimpuh di lantai. Dirinya merasa berat mengetahui masa
pengabdiannya sesingkat ini. Padahal amanat dari bapaknya bahwa ia harus
menjadi penggantinya mengabdi pada keluarga Nyi Ratu sama seperti bapaknya.
“Ini sedikit bekal
untuk kamu memulai hidupmu yang baru Gito, hiduplah dengan baik dan layak. Cari
jalan penghipan yang benar dan baik. Jaga diri dan kesehatan, semoga kamu bisa
sukses dan bahagia.” Pesan Nyi Ratu sambil memberikan Gito sebuah kotak.
“Ampun Nyi Ratu, saya
tidak berhak menerima ini, saya hanya mau ikut Nyi Ratu sesuai amanat almarhum
bapak.” Isakan tangisnya mulai nyaring.
Nyi Ratu turut
merasa sedih melihat Gito pemuda berkulit kuning yang masih ingin mengabdi
padanya. Bagaimanapun Gito dan bapaknya sudah mengabdi dikeluarganya sejak Gito
masih dalam kandungan, lahir, kehilangan ibunya, lalu bapaknya, hingga
sekarang.
Gito sudah
dianggap bagian dari keluarga, Nyi Ratu bahkan mengajarinya baca tulis dan
hitung, karena Gito menolak disekolahkan.
“Gito, saya tahu
kamu anak yang baik, tidak pernah menyusahkan, bahkan setia seperti bapakmu.
Justru karena itu saya ingin kamu punya kehidupan yang lebih baik sebagai
bentuk balas budi saya terhadap keluargamu. Lagipula saya akan menghadapi suatu
masa dimana saya sendiri tidak tahu bisa selamat atau tidak. Saya tidak bisa
menjamin keu itu keselamatanmu.”
Nyi Ratu menatap
iba pada Gito yang masih terisak.
“Kalau saya pergi,
siapa yang akan membantu Nyi Ratu?” keukeuh Gito
Nyi Ratu pun
menghela napas melihat Gito yang keras kepala.
“Begini saja,
kalau kamu memang mau membantu saya, kirimkan ini barang ini ke alamat yang
tertulis di kertas. Barang ini harus sampai langsung pada orangnya, dan jangan
pernah sekali-kali kembali kesini sebelum lewat tanggal tujuhbelas bulan ini,
paham?” tandas Nyi Ratu.
Raut wajah Gito
langsung berubah sumringah dan menyeka air matanya, tangisnya pun terhenti. Ia
langsung membawa barang yang diminta Ny Ratu.
“Bawa ini juga,
kamu akan butuh ini selama perjalanan.” Nyi Ratu memberikan bekal yang kali ini
diterima Gito.
Setelah berpamitan
dan mencium tangan Nyi Ratu dengan takjim, pria berbadan kurus dan tinggi itu
pun pergi menunaikan amanat yang didapatnya.
Nyi Ratu yang kini
sendiri bergegas ke dapur dan menyiapkan sesaji lebih awal, ia akan memulai pertempuran besar mulai sore
ini.
Air kendi, segelas
kopi hitam, tembikar kemenyan, bunga kantil yang diletakan ditengah-tengah
bunga tujuh rupa, telur ayam kampung dan beberapa jenis buah telah siap tersaji
di meja.
Kujang ki Galung
disimpannya di bawah meja beserta sebilah bamboo kuning, darah ular, dan bunga hanjuang.
Nyi Ratu sendiri
menyiapkan dirinya dengan mandi air rendaman beras dicampur air dari tujuh
sumur. Kemudian menghias dirinya memakai pakaian yang sudah ia persiapkan
kebaya berwarwa hitam dengan palet emas dan motif bunga hanjuang bersanding
anggun dengan kain samping berwarna
putih bermotif lereng.
Selendang berwarna
hijau tersampir di pundaknya, Nyi Ratu sudah siap duduk di balik meja sesaji
dan menunggu.
Pikirannya
melayang ke duapuluh satu tahun yang lalu di hari yang sama. Saat suaminya
Raden Pasang membuat perjanjian dengan iblis yang dipanggilnya Ki Ragadigdaya .
Suaminya melanggar perjanjian itu.
“Ampun Ki, saya
tidak tahu kalau wanita itu adalah siluman ular.” Ucap Raden Pasang.
“Hmmm, tidak ada
ampun bagimu Pasang! Perjanjian tetap perjanjian, kekayaan yang kamu dapat juga
kesaktian manderagunamu sudah kau dapatkan selama ini. Berhubungan dengan
wanita ular adalah penghinaan kepadaku, kau harus rasakan akibatnya dan tentu
saja putrimu yang akan membayar keserakahanmu.” Geram Ki Ragadigdaya
Nyi Ratu yang baru
saja tahu ternyata selama ini suaminya bersekutu dengan iblis, menutup mulutnya
dengan tangan di balik pintu yang sedikit terbuka. Nyeri dadanya mengetahui
putri semata wayangnya dijadikan bagian dari perjanjian suaminya itu.
“Ampun Ki, tolong
bebaskan putri saya, dia masih kecil masih satu tahun, kasihanilah dia.” Raden
Pasang mulai memohon.
Namun bukan
ampunan yang didapatnya, Raden Pasang dicekik oleh tangan tak kentara dan
diangkat tinggi melayang. Napasnya tersengal-sengal, hingga pintu tanpa sengaja
terbuka dan nampaklah sosok Nyi Ratu yang terduduk ketakutan menatap sosok yang
semula manusia menjadi sosok yang amat mengerikan.
Kepalanya
bertanduk tiga, dua tanduknya melengkung kebelakang dan satu tanduknya
menjulang ke atas, mulai menghampiri Nyi Ratu yang ketakutan. Raden Pasang yang
lemah terkulai begitu melihat makhluk itu menghampiri Nyi Ratu, mengumpulkan
sisa-sisa tenaganya dan membaca ajian pamungkas miliknya, hingga keris sakti
tiba-tiba terbang dan memotong tanduk makhluk itu.
Marah besar dan
geram, makhluk itu melenyapkan Raden Pasang menjadi abu dengan satu jentikan
jari. Mata Nyi Ratu nanar menyaksikan hal itu dan mahkluk yang telah
melenyapkan suaminya itu kini berada di hadapannya, wujudnya seketika berubah
menjadi seorang kakek tua dengan serinagi buas di wajahnya.
“Kau ingin putri
semata wayangmu selamat buka?” bisiknya di telinga.
Nyi Ratu pun
mengangguk cepat, diikuti senyuman penuh kemenangan kakek tua itu.
“Baiklah akan
kuberi dia kelonggaran waktu, kau bisa hidup bersamanya hingga dia berusia
duapuluhdua tahun, tapi begitu ia berusia duapuluh dua tahun ia akan aku bawa
untuk jadi pengantinku dan kau harus menjadi pengikutku dengan menjadi dukun
sakti di tempat ini dan menyajikan sesaji untukku setiap bulan sampai aku
datang menjemput putrimu.”
Antara bingung dan
takut, Nyi Ratu pun mengangguk, lalu kakek tua bernama Ki Ragadigdaya itu
meninggakannya dengan tawa membahana.
Kesedihan dan
kebingungan membawanya bertemu Ki Galung yang memberi saran agar Kinanti- putri
semata wayangnya hidup terpisah jauh darinya agar iblis itu tak sering
mengunjunginya.
Sejak saat itulah
Ny Ratu hidup terpisah dari Kinanti hingga seminggu yang lalu takdir
mempertemukan mereka tanpa sengaja.
“Aduuh, saya kok
jadi tegang begini, Nyi Ratu beneran mau perang ya hari ini?” Si Ntil mulai
bersuara.
“Sepertinya mah memang begitu, buktinya Nyi Ratu
sendiri yang menyiapkan kita.” Jawab si Nyan.
“Yah, mau
bagaimana lagi Nyi Ratu sudah kehabisan waktu, dan sekarang sudah waktunya Nyi
Ratu berperang memperjuangkan hak hidup Kinanti.” Ujar si Nyan.
“Kamu teh betul Nyan hak hidup, hak mendapat
penghidupan yang layak, hak mendapat kesetaraan dalam keadilan dimata hukum,
hak mendapat penjagaan dan pelayanan kesehatan yang baik juga hak pendidikan memang harus diperjuangkan
kalau tidak apa kata dunia?” celoteh si Hitam.
“Tumben ente waras, hehehe, betul apa betul?” Tiru si Nyan
Ketiga kawan karib
itu akan tertawa, tiba-tiba gemuruh terdengar di ruang praktek Ny Ratu, membuat
mereka urung tertawa.
Bersambung.
#tantangancerbung
#onedayonepost
#odopbatch5
#bismillahlulus.
Fighting Nyi Ratu...
BalasHapus