Kamis, 15 Maret 2018

Trio Aji-Aji Bagian 9

sumber gambar : B-one/google
Gito menangis sedih sambil duduk bersimpuh di lantai. Dirinya merasa berat mengetahui masa pengabdiannya sesingkat ini. Padahal amanat dari bapaknya bahwa ia harus menjadi penggantinya mengabdi pada keluarga Nyi Ratu sama seperti bapaknya.

“Ini sedikit bekal untuk kamu memulai hidupmu yang baru Gito, hiduplah dengan baik dan layak. Cari jalan penghipan yang benar dan baik. Jaga diri dan kesehatan, semoga kamu bisa sukses dan bahagia.” Pesan Nyi Ratu sambil memberikan Gito sebuah kotak.

“Ampun Nyi Ratu, saya tidak berhak menerima ini, saya hanya mau ikut Nyi Ratu sesuai amanat almarhum bapak.”  Isakan tangisnya mulai nyaring.

Nyi Ratu turut merasa sedih melihat Gito pemuda berkulit kuning yang masih ingin mengabdi padanya. Bagaimanapun Gito dan bapaknya sudah mengabdi dikeluarganya sejak Gito masih dalam kandungan, lahir, kehilangan ibunya, lalu bapaknya, hingga sekarang.

Gito sudah dianggap bagian dari keluarga, Nyi Ratu bahkan mengajarinya baca tulis dan hitung, karena Gito menolak disekolahkan.

“Gito, saya tahu kamu anak yang baik, tidak pernah menyusahkan, bahkan setia seperti bapakmu. Justru karena itu saya ingin kamu punya kehidupan yang lebih baik sebagai bentuk balas budi saya terhadap keluargamu. Lagipula saya akan menghadapi suatu masa dimana saya sendiri tidak tahu bisa selamat atau tidak. Saya tidak bisa menjamin keu itu keselamatanmu.”

Nyi Ratu menatap iba pada Gito yang masih terisak.

“Kalau saya pergi, siapa yang akan membantu Nyi Ratu?” keukeuh Gito

Nyi Ratu pun menghela napas melihat Gito yang keras kepala.

“Begini saja, kalau kamu memang mau membantu saya, kirimkan ini barang ini ke alamat yang tertulis di kertas. Barang ini harus sampai langsung pada orangnya, dan jangan pernah sekali-kali kembali kesini sebelum lewat tanggal tujuhbelas bulan ini, paham?” tandas Nyi Ratu.

Raut wajah Gito langsung berubah sumringah dan menyeka air matanya, tangisnya pun terhenti. Ia langsung membawa barang yang diminta Ny Ratu.

“Bawa ini juga, kamu akan butuh ini selama perjalanan.” Nyi Ratu memberikan bekal yang kali ini diterima Gito.

Setelah berpamitan dan mencium tangan Nyi Ratu dengan takjim, pria berbadan kurus dan tinggi itu pun pergi menunaikan amanat yang didapatnya.

Nyi Ratu yang kini sendiri bergegas ke dapur dan menyiapkan sesaji lebih awal,  ia akan memulai pertempuran besar mulai sore ini.

Air kendi, segelas kopi hitam, tembikar kemenyan, bunga kantil yang diletakan ditengah-tengah bunga tujuh rupa, telur ayam kampung dan beberapa jenis buah telah siap tersaji di meja.

Kujang ki Galung disimpannya di bawah meja beserta sebilah bamboo kuning, darah ular, dan bunga hanjuang.

Nyi Ratu sendiri menyiapkan dirinya dengan mandi air rendaman beras dicampur air dari tujuh sumur. Kemudian menghias dirinya memakai pakaian yang sudah ia persiapkan kebaya berwarwa hitam dengan palet emas dan motif bunga hanjuang bersanding anggun dengan kain samping berwarna putih bermotif lereng.

Selendang berwarna hijau tersampir di pundaknya, Nyi Ratu sudah siap duduk di balik meja sesaji dan menunggu.

Pikirannya melayang ke duapuluh satu tahun yang lalu di hari yang sama. Saat suaminya Raden Pasang membuat perjanjian dengan iblis yang dipanggilnya Ki Ragadigdaya . Suaminya melanggar perjanjian itu.

“Ampun Ki, saya tidak tahu kalau wanita itu adalah siluman ular.” Ucap Raden Pasang.

“Hmmm, tidak ada ampun bagimu Pasang! Perjanjian tetap perjanjian, kekayaan yang kamu dapat juga kesaktian manderagunamu sudah kau dapatkan selama ini. Berhubungan dengan wanita ular adalah penghinaan kepadaku, kau harus rasakan akibatnya dan tentu saja putrimu yang akan membayar keserakahanmu.” Geram Ki Ragadigdaya

Nyi Ratu yang baru saja tahu ternyata selama ini suaminya bersekutu dengan iblis, menutup mulutnya dengan tangan di balik pintu yang sedikit terbuka. Nyeri dadanya mengetahui putri semata wayangnya dijadikan bagian dari perjanjian suaminya itu.

“Ampun Ki, tolong bebaskan putri saya, dia masih kecil masih satu tahun, kasihanilah dia.” Raden Pasang mulai memohon.

Namun bukan ampunan yang didapatnya, Raden Pasang dicekik oleh tangan tak kentara dan diangkat tinggi melayang. Napasnya tersengal-sengal, hingga pintu tanpa sengaja terbuka dan nampaklah sosok Nyi Ratu yang terduduk ketakutan menatap sosok yang semula manusia menjadi sosok yang amat mengerikan.

Kepalanya bertanduk tiga, dua tanduknya melengkung kebelakang dan satu tanduknya menjulang ke atas, mulai menghampiri Nyi Ratu yang ketakutan. Raden Pasang yang lemah terkulai begitu melihat makhluk itu menghampiri Nyi Ratu, mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan membaca ajian pamungkas miliknya, hingga keris sakti tiba-tiba terbang dan memotong tanduk makhluk itu. 

Marah besar dan geram, makhluk itu melenyapkan Raden Pasang menjadi abu dengan satu jentikan jari. Mata Nyi Ratu nanar menyaksikan hal itu dan mahkluk yang telah melenyapkan suaminya itu kini berada di hadapannya, wujudnya seketika berubah menjadi seorang kakek tua dengan serinagi buas di wajahnya.

“Kau ingin putri semata wayangmu selamat buka?” bisiknya di telinga.

Nyi Ratu pun mengangguk cepat, diikuti senyuman penuh kemenangan kakek tua itu.

“Baiklah akan kuberi dia kelonggaran waktu, kau bisa hidup bersamanya hingga dia berusia duapuluhdua tahun, tapi begitu ia berusia duapuluh dua tahun ia akan aku bawa untuk jadi pengantinku dan kau harus menjadi pengikutku dengan menjadi dukun sakti di tempat ini dan menyajikan sesaji untukku setiap bulan sampai aku datang menjemput putrimu.”

Antara bingung dan takut, Nyi Ratu pun mengangguk, lalu kakek tua bernama Ki Ragadigdaya itu meninggakannya dengan tawa membahana.

Kesedihan dan kebingungan membawanya bertemu Ki Galung yang memberi saran agar Kinanti- putri semata wayangnya hidup terpisah jauh darinya agar iblis itu tak sering mengunjunginya.

Sejak saat itulah Ny Ratu hidup terpisah dari Kinanti hingga seminggu yang lalu takdir mempertemukan mereka tanpa sengaja.

“Aduuh, saya kok jadi tegang begini, Nyi Ratu beneran mau perang ya hari ini?” Si Ntil mulai bersuara.

“Sepertinya mah memang begitu, buktinya Nyi Ratu sendiri yang menyiapkan kita.” Jawab si Nyan.

“Yah, mau bagaimana lagi Nyi Ratu sudah kehabisan waktu, dan sekarang sudah waktunya Nyi Ratu berperang memperjuangkan hak hidup Kinanti.” Ujar si Nyan.

“Kamu teh betul Nyan hak hidup, hak mendapat penghidupan yang layak, hak mendapat kesetaraan dalam keadilan dimata hukum, hak mendapat penjagaan dan pelayanan kesehatan yang baik juga  hak pendidikan memang harus diperjuangkan kalau tidak apa kata dunia?” celoteh si Hitam.

“Tumben ente waras, hehehe, betul apa betul?” Tiru si Nyan

Ketiga kawan karib itu akan tertawa, tiba-tiba gemuruh terdengar di ruang praktek Ny Ratu, membuat mereka urung tertawa.

Bersambung.
#tantangancerbung
#onedayonepost
#odopbatch5
#bismillahlulus.

1 komentar: