Kamis, 15 Maret 2018

Trio Aji-Aji Bagian 8

sumber gambar: B-one/google
Budak leutik bisa ngapung

Babakung ngapungna peuting

Nguriling kakalayangan neangan nu amis-amis

Sarupaning bubuahan, naon bae nu kapanggih.*(1)

Suara nyayian berasal dari dalam hutan menghentikan langkah Nyi ratu yang semula bergegas untuk tiba di rumah. Ditelusurinya hutan dekat rumahnya untuk mencari sumber suara dengan menenteng bungkusan berisiskan kembang kantil.

Mau kemana Nyi ratu ini, mengapa tidak langsung pulang?  Si Ntil bertanya sendiri.

Tiba di tengah hutan Nyi ratu melihat seorang gadis muda nan rupawan berkerudung putih duduk-duduk di sebuah gubuk bersama beberapa anak kecil.

Nyi Ratu memperhatikan gadis muda itu dari jarak yang cukup dekat dari balik pohon.

Lama sekali Nyi ratu memperhatikannya, sampai gadis itu hanya sendiri ditinggalkan anak-anak kecil yang bersamanya pamit pulang. Gadis itu melayangkan pandangannya kesekeliling, takut ketahuan Nyi Ratu pun segera pergi.

Namun sayang ketika hendak pergi, kaki Nyi ratu tersandung dan membunyikan suara gemerisik yang terdengar jelas oleh gadis muda itu.

“Siapa di situ?” tanya si gadis sambil menghampiri Nyi Ratu yang jatuh tersimpuh.

Melihat itu, Nyi Ratu segera dibantu bangkit oleh gadis muda itu.

“Ibu tidak apa-apa? Adakah yang luka Bu?” dengan teliti gadis itu melihat kaki dan tangan serta wajah Nyi Ratu.

“Saya tidak apa-apa Neng.” Ujar Nyi Ratu pelan.

“Alhamdulillah kalau begitu.” Jawab gadis itu sambil tersenyum.

Senyumannya mengingatkan Nyi Ratu pada seseorang, kini dari jarak yang sangat dekat Nyi ratu dapat melihat wajah gadis muda itu dengan lebih jelas.

Matanya yang bulat berwarna cokelat terang, alisnya yang datar memanjang dan hitam, bulu matanya yang lentik, hidung mancung, dan bibir tipisnya yang merah membuat Nyi Ratu seperti melihat bayangannya sewaktu muda kecuali mata bulatnya yang mirip seseorang.

Nyi Ratu lama terpana menatap gadis muda itu hingga yang ditatap merasa heran.

“Bu, apa Ibu baik-baik saja?”

Pertanyaannya mengejutkan Nyi Ratu, “Ah, maaf, saya tidak apa-apa hanya sedikit pusing saja.” Nyi Ratu berbohong.

“Kalau begitu mari istirahat dulu saja di gubuk itu.” Ajak gadis itu, Nyi Ratu pun mengangguk mengikutinya.

“Ini silahkan diminum airnya Bu.” Gadis itu menyodorkan segelas air.

“Terimakasih Neng.”

“Panggil saya Kinanti saja Bu.” Gadis itu memperkenalkan namanya, mendengar namanya Nyi ratu tak sengaja menumpahkan air dalam gelas ynag sudah dipegangnya terjatuh. Tangannya gemetar.

Kinanti yang melihatnya menjadi khawatir, segera membetulkan gelas yang tumpah, dan memegangi tangan Nyi Ratu.

Pikiran dan perasaan Nyi Ratu berkecamuk, antara bahagia, sedih, takut, khawatir dan bingung harus bagaimana. Matanya kini mulai berkaca-kaca, kerinduan yang terpendam selama duapuluh satu tahun seakan tumpah bersama air matanya.

Kinanti tiba-tiba memeluk Nyi Ratu dari samping seraya berkata, “ Apa Ibu sakit? Kenapa Ibu menangis?”

Nyi Ratu yang mendapat pelukan Kinanti malah bertambah deras air matanya, ia tergugu dan tersengguk-sengguk di pundak Kinanti.

Dengan sabar dan penuh kelembutan Kinanti membelai punggung Nyi Ratu hingga  menyelesaikan tangis dan rindunya.

“Ah, maafkan ibu, Kinanti, kerudungmu jadi basah.” Ucap Nyi ratu setelah tenang.

“Tidak apa Bu, saya malah senang bisa memeluk ibu, entah mengapa tapi rasanya bahagia sekali, mungkin begini nanti rasanya ketika saya bertemu ibu saya.” Kinanti pun mengurai senyum.

Nyi Ratu merasa perih hatinya mendengar kalimat itu dari Kinanti.

“Memangnya ibu Kinanti kemana?” Tanya Nyi Ratu hati-hati.

“Ibu saya sedang berjuang Bu, itulah yang selalu Kyai saya bilang di pesantren. Beliau mengetahui itu dari kakek yang menitipkan saya sejak bayi kepada beliau. Setiap pertemuan dengan Kyai, beliau selalu menceritakan tentang ibu, bahwa ibu mengorbankan jiwa dan raga untuk menyelamatkan saya dari kejahatan seseorang, tapi kakek sudah tidak muncul lagi sejak tujuh tahun yang lalu, pesannya terakhir kali hanya saya baru bisa betemu ibu ketika berumur duapuluh dua tahun di bulan ke Sembilan, itu berarti bulan depan.” Tutur Kinanti dengan wajah penuh harapan.

Nyi Ratu hampir jatuh terisak lagi mendengar cerita Kinanti, namun emosi yang membuncah itu segera ditahannya.

“Semoga Kinanti bisa segera bertemu dengan ibu Kinanti.” Doa Nyi ratu

“Amin, saya sangat berharap ibu saya juga bisa mendoakan seperti yang ibu lakukan, karena doa ibu kepada anaknya adalah keberkahan yang luar biasa. Kyai saya selalu bilang bahwa setiap ibu itu punya senjata sakti dan ampuh yang bisa menyelamatkan atau mencelakakan anaknya yaitu ucapan dan doanya.”

Nyi Ratu terbelalak mendengarnya, ia jadi ingat perkataan Ki Galung mengenai kesaktian yang dimilikinya namun selama ini tak disadari, apa ini maksudnya?

“Kamu anak yang baik Kinanti, ibumu pasti sangat beruntung memiliki anak sepertimu.”
Kinanti pun tersenyum mendengarnya.

“Lalu ibu sendiri mengapa menangis?” tanya Kinanti kemudian, Nyi ratu agak terkesiap mendengarnnya.

“Ada satu persoalan yang ibu belum bisa menemukan jawabannya sampai sekarang, ibu merasa lelah dan hampir putus asa.” Terang Nyi Ratu.

“Semoga Allah membantu Ibu menyelesaikan masalahnya ya Bu, maaf saya baru bisa bantu mendoakan saja atau kalau memang ada yang saya bisa bantu Bu?.” Ucap Kinanti.

Nyi ratu merasa mendapat energi baru dan yakin bisa menyelamatkan Kinanti.

“Maaf kalau boleh Ibu bertanya, apakah Kinanti pernah mendengar ucapan *'Buta yang paling buruk adalah buta hati’?” Tanya Nyi ratu.

“Ah iya saya  pernah mendengarnya dari Kyai di pesantren saat mengajar, itu adalah kalimat hadist yang berarti bahwa manusia yang tidak mengenal Allah dan jati dirinya sebagai makhluk Allah maka hatinya disebut buta karena tidak bisa melihat dan menyadari hal itu, kira-kira seperti itu penjelasannya.”

Nyi Ratu merasa seperti terkena ajian paling sakti yang pernah diterimanya selama ini, menusuk dan membuat hatinya nyeri tak terperi merobohkan seluruh raganya.

“Kinanti ayo pulang!” Sebuah suara membuyarkan pikiran Nyi Ratu.

“Oh Pak Kosim sudah datang, iya Pak sebentar.” Jawab Kinanti
Kinanti pun segera berbenah, semua barang miliknya dimasukan ke dalam kotak.

“Ibu mohon maaf saya sudah harus kembali ke pesantren, teman-teman saya sudah menjemput, insyaAllah mudah-mudahan kita bisa berjumpa lagi, kalau saya ngajar nagji lagi ke desa ini.” Pamit Kinanti

“Iya silahkan, semoga selamat sampai ke pesantren.”

“Amin.” Lalu Kinanti mencium tangan Nyi Ratu dengan takjim, mereka berjalan keluar hutan hingga ke jalan bersama.

Di sana terlihat kendaraan pesantren yang sudah penuh dengan santrinya. Ada perasaan enggan diantara mereka untuk berpisah. Namun akhirnya Kinanti dibawa pergi dan makin menjauh.

Nyi Ratu bergegas kembali ke rumah, banyak yang harus dipersiapkan, bulan darah tinggal menghitung hari, itu berarti pertarungan besar telah menantinya dan Kinanti adalah taruhannya.

Sementara itu di kediaman Nyi Ratu, si Nyan dan si Hitam sedang asyik bercengkrama.

“Nyan gimana perkembangan anak buahmu bertemu mbah google sudah ada kabar belum?”

“Kabar terakhir  dia bilang baru nyampe kota, tapi warnetnya penuh sama yang nge game online yang mainnya berjam-jam bahkan sampe lupa sama kewajiban dari anak-anak sampe orang dewasa. Jadi ya antrinya lama, kita sabar dulu sajalah.”

“Euleuh, geuningan Mbah google teh punya game? Sakti bener ari kitu mah atuh. Pantesan pengikutnya miliaran, tapi saya teh jadi bingung juga sama mbah google, kenapa nyediain permainan bukannya hidup ini juga permainan? Bukannya orang datang ke Nyi Ratu dan Mbah google itu buat keluar dari kejamnya permainan?”

“Ah kalau itu sih gampang, mereka itu termasuk pemain yang sukanya main-main dalam permainan, mereka tidak sadar kalau main-mainnya mereka berbalik mainin mereka, jadi lupa waktu sama kewajiban, ckckckc.”

Euleuh,kalau begitu mah, saya maen karet apa enggrang saja, biar tidak dipermainkan, betul apa betul?”

Mereka pun tertawa terbahak bersama meski hanya berdua karena si Ntil belum tiba.

 Bersambung 
*(1) Pupuh Kinanti.
* HR Asysyhaab.

#tantangancerbung
#onedayonepost
#odopbatch5
#bismillahlulus.





1 komentar: