Malam
–malam sepiku semakin senyap saja dengan kepulangan Mantra ke kampungnya.
Jendela kamar yang masih terbuka kubiarkan saja, setidaknya ada angin malam yang menemani dalam sepi.
Pikiranku
melayang malam ini, takut akan ditinggalkan sendiri dan berteman sepi. Akankah sepanjang hidup sendiri ? hati ini mulai bertanya-tanya.
Mantra
satu-saunya teman yang masih sendiri, mungkin setelah pulang kampung hari ini
akan segera dipingit. Mengingat ia pulang untuk bertemu pria pilihan ibunya.
Dadaku entah mengapa rasanya sesak, atau
baru sadar kalau selama ini memang sudah asma.
Banyak
alasan bagiku memilih sendiri hingga kini. Salah satu faktor terbesar adalah
perceraian ibuku yang tak hanya sekali. Namun ibu sepertinya tak merasa jera,
tapi tidak bagiku.
Berganti-ganti
ayah, dari yang kandung hingga yang sambung, membuatku tak nyaman. Aku harus
beradaptasi dengan orang yang berbeda, aku jengah dengan itu. Karena semuanya
selalu berjalan singkat, sampai kuputuskan untuk hidup terpisah dari ibu.
Awalnya
berat meninggalkan ibu sendirian, karena aku putri semata wayangnya. Namun
tekadku sudah bulat, sepertinya ibu pun lebih bahagia bila ada seorang pria
yang mendampinginya.
Kadang
aku menebak apa alasannya ibu tak pernah jengah menikah lalu bercerai
hingga lima kali. Apa memang ibu tak
merasa itu sebuah masalah atau ini bentuk sebuah balas dendam?.
Dendam
yang lahir dari sebuah pengkhianatan besar yang dilakukan bapak yang
berselingkuh dengan adik kandung ibu sendiri.
Suara
telepon selularku menyadarkanku. Terlihat nama ibu muncul di layar. Segera
kuangkat teleponnya.
“
Assalamu’alaikum Bu”
“Wa’alaikumsalam,
Ning gimana kabarmu?”
“
Alhamdulillah sehat Bu, Ibu sehat ?”
“
Alhamdulillah sehat Ning, ini Ibu mau kasih kabar baik” nada suara ibu
terdengar gembira
Aku
bukannya tak bahagia tapi rasa cemas itu menggantung di hati.
“
Kabar baik apa Bu?” tanyaku
“
Besok hari sabtu, Ibu mau nikah lagi Ning”
Kecemasanku
berubah menjadi nyata, setiap ibu bilang ada kabar baik pasti pasti itu tentang
pernikahannya.
Satu
pertanyaan besar yang selalu hinggap dikepalaku, kini mendesak untuk
dikeluarkan. Dengan sedikit keberanian aku pun mulai bertanya pada ibu.
“ Bu,
Ning boleh tanya sesuatu?” tanyaku pelan.
“ Ada
apa Ning?” jawab ibu datar.
Aku
sedikit takut akan menyinggung perasaan ibu
“ Apa
alasan Ibu menikah lagi?” tanyaku lirih
“
Walah Ning, Ibu pikir kamu mau tanya apa” jawab ibu santai, sedang aku masih
terdiam menanti jawaban.
“
Awalnya Ibu menikah agar kamu tidak kehilangann sosok seorang ayah. Tapi Ibu
selalu gagal dan dari situ Ibu melihat ternyata kamu seorang anak yang kuat dan
sosok ayah sepertinya bukan hal terlalu kamu butuhkan. Lagipula kamu tahu
sendiri apa alasan Ibu bercerai dengan suami-suami Ibu yang dulu “ papar ibu.
Ya,
aku memang tahu betul apa alasan ibu bercerai dari semua suaminya dulu. Pertama
bapak, yang bercerai karena perselingkuhan. Kedua, suami ibu menipu ibu dengan
mengaku perjaka tua ternyata sudah punya istri tiga. Ketiga , suami ibu banyak
hutangnya dan membuat ibu yang menanggung hutang itu akibat investasi bodongnya. Keempat, suami ibu ini hampir
saja menjualku karena terlibat sindikat penjualan anak. Kelima , karena kasus
KDRT, tabiat buruk suami ibu baru muncul setelah tiga bulan pernikahan.
“
Lalu yang sekarang ini alasannya apa Bu?”
“ Ibu
ingin bahagia Ning dengan yang sekarang. Ibu merasa bersama dengannya Ibu bisa membangun
kebahagiaan ”
Sebuah
jawaban yang tak kuduga akan kudengar dari ibu.
“ Apa
yang membuat Ibu yakin dengan hal itu ?”
“ Dia
melamar ibu dan berkata kalau dia mencintai ibu karena Allah Ning, dan dia pun
bilang bahwa dia akan menyayangimu sebagai amanah yang berharga dari Allah”
tutur ibu sedikit bergetar.
Ada
rasa haru menyeruak di dalam hatiku. Tanpa terasa mata ini basah oleh deraian
air mata. Bukan tangisan kesedihan tapi keharuan yang lahir dari rasa bahagia
di dada.
“
Ning, kamu bisa hadirkan?” tanya ibu kemudian setelah agak lama aku
mendiamkannya.
“
I..iya Bu, Ning pasti datang “ jawabku tergesa sambil mengusap air mata.
“
Alhamdulillah, ya sudah kalau begitu, Ibu mau kabari teman-teman Ibu dulu, kamu
jaga kesehatan ya, asslamua’laikum” tutup ibu
“
Wa’alaikumsalam “
Kututup
ponsel selularku, dan kembali duduk menghadap jendela yang masih terbuka.
Sendiri,
ya aku sendiri sekarang, mungkin salah satunya karena aku masih merasa bahagia dalam kesendirian ini. Seperti ibu yang berharap kebahagiannya pada pernikahannya yang
keenam ini.
Jikalau
suatu saat aku memutuskan untuk menikah, maka harus ada alasan yang kuat
mengapa harus menikah. Karena hidup tak selalu berjalan sesuai harapan dan
bahagia itu dibangun bukan terjadi begitu saja.
Bahagia atau tidaknya seseorang
bergantung pada caranya memandang kehidupan ini.
Semoga
dalam kesendirian ini aku bisa menemukan hakikat kebahagianku, semoga.
#onedayonepost
#odopbatch5
Bunda, menitik air mata ini
BalasHapusmembacanya. T_T
Terimakasih bun, sungguh cerpennya amat menggugah, seolah melihat diri yang masih merasa bahagia dengan kesendirian.
waduh...
BalasHapusmasama Nia
Bahagia selalu ya Nia sayang,semoga Allah senantiasa melindungi dan memberi kebahagian dunia dan akhirat kepada Nia, amin
semangat !!!
Aamiin...
HapusTerimakasih Bunda,
Bunda juga ya, semangat... ^_^
oke semangat!!!
Hapus