Angin berhembus kencang, petir
bergemuruh, kilat menyambar-nyambar, hujan lebat pun menyusul kemudian. Pikiran
yang kosong membawa Rahman ke rumah Gino dalam keadaan basah kuyup.
Gino dengan cepat menyuruh Rahman untuk masuk ke dalam rumahnya yang berbentuk panggung. Diambilnya handuk besar dari dalam kamar, lalu diselimutilah Rahman yang duduk di kursi rotan dengan handuk itu.
Gino kembali meninggalkan Rahman ke dapur sekedar merejang air dicampur jahe dan kayu manis. Ditungguinya air rebusan jahe dan kayu manis itu hingga mendidih dan berubah warna.
Alam pikiran Gino pun mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada Rahman?. Setelah air rebusan jahe dan kayu manis itu mendidih dan berubah warna, lalu disaringnya ke dalam gelas kaca berukuran besar.
Dua potongan agak besar gula batu di masukan Gino ke dalam gelas itu. Diletakanlah gelas itu di atas meja dekat dengan tempat Rahman duduk.
Gino pun kemudian duduk disamping Rahman hendak bertanya apa yang terjadi pada Rahman, namun baru saja hendak membuka mulutnya, Rahman terlebih dahulu berbicara.
Gino dengan cepat menyuruh Rahman untuk masuk ke dalam rumahnya yang berbentuk panggung. Diambilnya handuk besar dari dalam kamar, lalu diselimutilah Rahman yang duduk di kursi rotan dengan handuk itu.
Gino kembali meninggalkan Rahman ke dapur sekedar merejang air dicampur jahe dan kayu manis. Ditungguinya air rebusan jahe dan kayu manis itu hingga mendidih dan berubah warna.
Alam pikiran Gino pun mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada Rahman?. Setelah air rebusan jahe dan kayu manis itu mendidih dan berubah warna, lalu disaringnya ke dalam gelas kaca berukuran besar.
Dua potongan agak besar gula batu di masukan Gino ke dalam gelas itu. Diletakanlah gelas itu di atas meja dekat dengan tempat Rahman duduk.
Gino pun kemudian duduk disamping Rahman hendak bertanya apa yang terjadi pada Rahman, namun baru saja hendak membuka mulutnya, Rahman terlebih dahulu berbicara.
“ Apa yang telah aku lakukan Gin, hingga semua ini menimpaku?” Tanya Rahman lirih. Gino hanya terdiam, ia tahu Rahman tak butuh jawabannya.
“ Aku tak habis pikir Gino, bapak yang aku hormati dan aku segani tega berbuat seperti itu…!” Suara Rahman mulai parau dan tak kuasa menahan tangis.
Menangislah Rahman sejadinya, tangisannya mungkin sebanyak hujan yang turun malam itu. Gino hanya bisa menepuk-nepuk pundaknya sambil berucap kata sabar, meski Ia sendiri tak mengerti persoalan yang sebenarnya.
Tak lama hujan pun reda, begitupun tangisan Rahman. Ia mulai bisa menenangkan dirinya. Gino memberikan wedang jahe yang sudah hangat kepada Rahman. Wedang jahe itu pun diminum Rahman seteguk demi seteguk. Gino melihat kondisi Rahman sudah lebih tenang dari sebelumnya,
Gino pun memberanikan diri untuk bertanya padanya.
“ Man, memangnya bapaknya sampeyan ini berbuat apa?” Tanya Gino hati-hati, khawatir Rahman akan kembali emosional. Rahman menatap Gino, lalu mengambil napas panjang.
“ Bapakku menikah siri dengan Siti sore tadi Gin…” jawabnya lirih. Gino agak kaget mendengarnya, meskipun ia tahu hal itu besar kemungkinannya terjadi.
Orang sekampung sudah tahu mengenai rumor bahwa Siti lebih suka pria matang yang usia nya sangat jauh dengannya, dia mendekati Rahman hanya sebagai jalan masuk mendekati bapaknya Rahman. Sayangnya Rahman tak mengindahkan rumor itu. Gino pun terdiam dan menghela napas.
“ Kenapa ini selalu terjadi padaku Gin, dulu waktu aku dekat dengan Mita, Bang Harun malah melamarnya dan menikahinya, begitu juga dengan Sahiba, Bang Mustapa yang meminangnya, lalu Widuri, adikku Hasan melangkahiku kawin siri dengan dia, sekarang Siti Gin, bapakku sendiri…” Rahman tak kuasa melanjutkan perkataannya hanya bisa tertunduk lemah tak berdaya.
Gino lagi-lagi hanya bisa menghela napas. Apalagi yang bisa Gino perbuat, semua yang merebut kekasih Rahman adalah saudara nya sendiri, abang dan adiknya sendiri lalu sekarang berganti bapaknya.
“ Man, mungkin mereka semua itu bukan jodoh yang terbaik yang disediakan Gusti Allah buatmu”. Ucap Gino sambil menepuk pundak Rahman.
“ Tapi kenapa harus keluargaku sendiri yang merebutnya dariku? Sakit Gin hati ini!” jawab Rahman lirih.
“ Man, mau itu orang lain atau keluargamu sendiri yang merebut semua gadismu, kalau mereka semua itu bukan jodohmu yaa sama saja tho?”
Rahman terdiam merenungi perkataan Gino. Apa yang dikatakan sahabatnya itu memang benar. Rahman merasa sesak di dadanya sedikit berkurang. Dihabiskannya wedang jahe yang masih tersisa banyak di gelas sekaligus. Gino pun tersenyum melihat sahabatnya itu.
Musim hujan telah berganti musim kemarau. Panasnya musim kemarau, turut dirasakan hati Gino saat menghadiri pesta pernikahan Rahman. Bagaimana tidak panas, Salimah gadis pujaan hatinya yang ia dambakan selama 10 tahun lamanya, kini bersanding dipelaminan bersama sahabat karibnya.
Agaknya kini Gino paham betul perasaan Rahman dahulu ketika patah hati. Namun mengingat itu teringat pula nasihat yang disampaikannya pada Rahman waktu itu.
“ Yaa mau oleh orang lain, keluarga atau sahabat sendiri yang merebut gadismu, jika bukan jodohmu maka sama saja tho?”, ucap Gino dalam hati.
Lalu secercah cahaya mulai bersinar dihatinya, dengan penuh keberanian dan ketegaran Gino pun pergi menyalami Rahman dan Salimah, bahkan tak lupa ia berdoa untuk mereka.
Dalam hati Gino berharap, dengan keikhlasannya terhadap takdir Allah, ia akan mendapatkan wanita shalihah yang akan membersamainya hingga ke surga.
#onepostoneday
#odopbatch5
Huah...
BalasHapusBegitulah yang namanya jodoh ya bun, tiada yang tau, kapan, dimana, dan siapa yang akan membersamai menuju surga-Nya.
bener mba Nia, hehehe, jodoh itu rahasia Allah, kita tinggal berikhtiar dan berdoa saja,
BalasHapusterimakasih ya sudah jalan-jalan ke blognya bunda :)
Jodoh itu memang unik..
BalasHapusKadang, yg dulunya sering gak akur.. eehh mlh jd jodoh..
Betul mba 😁
Hapus