sumber gambar : Google
Hari
masih amat pagi, matahari bahkan masih malas untuk naik, tapi tempat ini sudah
penuh sesak. Tempat apa ini sebernarnya?, selalu saja ada yang datang dan
pergi. Tapi, aku pun termasuk pendatang di tempat ini, dengan tujuan pergi dari
tempat ini. Tempat ini hanya untuk singgah semata.
Rasa
haus karena terbangun terlalu awal
membuatku menembus kerumunan yang memenuhi kolam yang sedari tadi
dipandangi. Kolam itu satu-satunya tempat air minum berada . Kolam dalam yang berbentuk
seperti jejak kaki singa itu dipenuhi oleh para pendatang yang sepertinya baru
tiba, karena kemarin kolam ini tak penuh sesak seperti ini di pagi hari.
Beruntunglah tubuhku tak terlalu kecil namun tak terlalu besar juga, hanya
besar saja dan cukup kuat untuk menembus kerumunan dan mendapatkan tempat untuk meneguk air yang
dingin dan kecoklatan itu.
“Penjaga
Pintu Gerbang itu mengatakan ‘maaf, bumi libur hari ini, silahkan kembali lagi
dua pekan mendatang’.” Ucap badak dewasa yang berada tepat di samping kananku,
suaranya menirukan suara lain dan terdengar lucu.
“Ya,
aku sudah mendengarnya dari Singa betina kemarin sore. Sungguh membuat putus
asa, kita sudah berjalan bermil-mil jauhnya untuk tiba di Pintu Gerbang itu,
dengan harapan bisa langsung menuju Havana, namun kandas karena bumi tutup. Aku sudah tak muda lagi, mengapa bumi harus tutup
kemarin.” Keluh Kijang tua yang berada di samping kiriku.
Mendengar
percakapan mereka mengenai Pintu Gerbang dan Havana, sepertinya tujuan kami
sama, aku pun singgah di tempat ini untuk pergi ke sana. Mengharapkan akan bisa
pergi menuju Havana akhir pekan ini, tapi sepertinya masih harus menunggu
sepekan lagi. Oh! sungguh melelahkan sekali bagiku apa yang dinamakan menunggu.
Tapi mengapa bumi tutup selama dua pekan?
“Maaf
Pak Badak, bolehkah aku bertanya?”, rasa penasaranku memunculkan keberanian
untuk bertanya.
“Oh
tentu saja, anak manis. Apa yang ingin kau tanyakan?”, jawab Pak Badak yang
kini menatap ramah padaku.
“Mengapa
bumi tutup hingga dua pekan?”, tanyaku
“Hmmm,
kemarin penjaga pintu bermata lima dan berkulit biru itu mengatakan jika lalu
lintas si Piring Terbang sedang padat di jalur yang menuju bumi, jadi bumi
diputuskan untuk libur dua pekan.” Tuturnya
“Apakah
kau juga hendak ke Havana?”, tanya
Kijang Tua kepadaku.
“Ya,
Kakek Kijang, aku sudah menunggu hampir dua pekan di sini dan berharap akan pergi
ke Pintu Gerbang dan menuju Havana pekan depan. Tapi sepertinya masih harus
menunggu lagi.” Jawabku dengan sedih.
“Oh,
anak yang malang. Apakah kau sendirian di sini? Dimana kawananmu?”. Kakek
Kijang kembali bertanya dengan nada iba.
Aku
menjadi bertambah sedih jika teringat kawananku, tenggorokan menjadi tercekat
dan bulir-bulir bening hangat mulai bermunculan dari mata bulat ini. Mengangguk
lemah adalah jawabanku yang kini sebatang kara.
“Apa
yang terjadi dengan kawananmu?” Pak Badak mulai bertanya lagi dan berhenti
minum air.
“Di
perjalan menuju ke tempat ini, sekelompok pemburu liar memburu dan menembaki
kami, lalu mengambil gading-gading kami, hingga tersisa aku dan ibuku saja.
Namun naas, ibuku justru termakan perangkap pemburu gila lainnya saat hanya
tinggal sedikit jarak yang ditempuh menuju ke sini. Kami terpisah di sana, aku
melihatnya bersimbah darah, hanya perintah untuk pergi yang kudengar keluar dari
mulut ibu terakhir kalinya. Semua kawananku yang tersisa dari Borneo
berguguran, setelah sebelumnya sebagian dari kami mati dilahap api dan sesak
oleh asap-asap dari hutan-hutan kami yang terus membara selama bertahun-tahun.”
Perih hatiku memutar kenangan pahit itu
“Semua
wilayah sepertinya telah mengalami hal yang sama, Andalas, Celebes, Pulau Padi,
bahkan new Guinea pun telah rusak. Lingkaran kehidupan alam benar-benar telah
menjadi lingkaran setan. Aku pun kini hanya sendiri saja.” Pak Badak
menggeleng-gelengkan lemah kepalanya, terlihat ia menahan semua rasa sakit dari
peristiwa yang merundungnya.
“Oh
ya ampun. Kemalangan apa ini?, mengapa kita menjadi terlunta-lunta seperti ini.
Apa kesalahan yang telah kita perbuat, hingga mendapat perlakuan seperti ini. Makhluk
yang mengaku berakal itu sungguh tak takut karma.” Dengus Kakek Kijang
Kami
yang dipertemukan di kolam itu, kini menjadi kawanan baru, entah harus kuberi
nama apa kawanan ini, mungkin kata ‘yang tersisa’ cocok menjadi nama baru
kawanan ini. Kami makan bersama, istirahat bersama, saling bertukar ceriita,
dan berharap Havana adalah surga alam yang bisa memberikan kehidupan alami yang
didambakan selama ini. Semua tersedia di sana yang alami sebagaimana seharusnya
tempat tinggal kami. Pepohonan hijau yang rimbun dan lebat buahnya. Air bersih
di sungai yang mengalir jernih tanpa noda timbal ataupun limbah lainnya. Udara
yang segar dan sehat bebas dari asap-asap yang menyesakan. Tak ada lagi
pembalakan liar dan perburuan liar yang merenggut nyawa kami. Mencoba
mempercayai sepenuh hati bahwa makhluk berwarna biru, bermata lima, berkulit
separuh bersisik separuh berambut, berantena, berlengan tentakel dan berkaki
besar seperti milik ayahku, setinggi lima meter, tak membodohi dan mengingkari
janji macam makhluk berakal yang menggusur tempat tinggal kami. Menyeret kami
dalam kepunahan.
Waktu
kebersamanku bersama Pak Badak dan Kakek Kijang terasa begitu cepat.Dua pekan
hampir berlalu, hanya tinggal tiga hari saja sebagian dari semua kumpulan
kawanan yang berharap pergi ke Havana akan menuju ke Pintu Gerbang. Tersiar
kabar bahwa si Piring Terbang akan segera tiba. Namun bagai petir di siang
hari, sebuah tragedi terjadi di tempat singgah ini. Kawanan yang satu membantai
kawanan yang lain hanya untuk memenuhi rasa lapar. Melihat mata ini kerbau
hutan dan babi hutan kepalanya telah tercabut dari badan mereka. Tubuhnya telah
koyak oleh macan kumbang yang tak kuasa lagi berpuasa dalam keputusasaan dan
kesendiriannya. Tempat singgah ini mulai kehabisan persediaan makanan, terutama
bagi para pemakan daging. Bangkai-bangkai telah habis hingga ke
tulang-tulangnya, sedangkan pendatang selalu bertambah setiap petang. Tempat
singgah ini bahkan sudah tak sehijau saat kali pertama aku datang. Pepohonan
dan tumbuhan lainnya mulai habis perlahan-lahan. Tinggal air keruh saja yang
masih berlimpah di kolam telapak singa itu. Tapi siapa yang akan tahan jika
hanya makan air.
Semua
yang melihat kejadian itu langsung waspada dan berusaha mengamankan diri
sendiri dan kawanannya yang masih tersisa, termasuk kawanan ‘yang tersisa’
milikku. Suasana tegang dan mencekam meliputi kami. Mendung langit sepertinya
hendak bersekutu dengan suasana tegang ini, membangkitkan aroma pembantaian.
“Ini
akan jadi petaka.” Ucap Pak Badak berbisik
“Kau
benar, kita bisa saling bantai dan memangsa satu sama lain. Kita harus segera
melarikan diri.” Saran Kakek Kijang.
Aku
yang sudah ketakutan sedari tadi hanya mengangguk cepat tanda setuju. Kami pun
mulai beringsutan menembus kerumunan kawanan lain yang masih bersiap siaga.
Tibalah kami di penghujung tempat singgah itu, hanya tinggal selangkah dan
selangkah dan selangkah lagi kami bisa keluar dari sana dan melakukan
perjalanan ke Pintu Gerbang menunggu jemputan si Piring Terbang ke Havana.
Suara
yang menggelegar tiba-tiba terdengar kencang sekali di cuping telingaku yang
lebar, menghentikan langkah ini begitu pula langkah Pak Badak dan kakek Kijang.
Auman dari Harimau Andalas rupanya, ia terlihat naik ke atas puncak batu dan
semua perharian terpusat padanya termasuk perhatianku, Pak Badak, dan Kakek
Kijang.
“Dengarkan
semuanya! Ingatlah tujuan kita di sini adalah untuk pergi ke Havana, hanya
tinggal tiga hari saja menuju Havana. Jangan sia-siakan pengorbanan kita selama
ini dengan saling bertarung satu dengan yang lainnya. Bersabarlah!.” Harimau Andalas itu mencoba menangani situasi
tegang dan mencekam ini.
“Kami
sudah tak tahan wahai Harimau, kami kelaparan dan kelelahan. Tempat singgah ini
sudah tak cukup lagi untuk menampung kita semua. Pendatang baru selalu
berdatangan setiap waktu. Nafsu kami menderu-deru, lapar kami tak akan hilang
oleh pelepas dahaga.” Protes macan kumbang yang diamini singa.
Semua
yang ada di tempat itu, mulai dari kura-kura, banteng, babi, buaya, ular,
kerbau, hingga para unggas mulai ricuh, mereka cenderung sepakat pada macan
kumbang dan singa.
“Dia
benar! Lagipula bumi selalu libur, dari sepekan menjadi dua pekan. Mungkin saja
Havana itu hanya bualan yang menjebak kita semua di sini. Lahan dan hutan kita
lalu diberangus karena tak berpenghuni. Makhluk berakal itu sungguh sadis dan
licik.” Elang pun turut bersuara
Tetesan
hujan mulai turun tapi tak membubarkan percakapan itu. Tetesan hujan bagai
penghitung waktu, entah menghitung waktu apa. Tapi bagiku, sepertinya tetesan
hujan itu sedang menghitung waktu perubahan. Perubahan yang besar, firasatku.
“Baiklah
jika kalian berpikir seperti itu, jika kesabaran kalian telah habis oleh rasa
lapar dan amarah. Maka aku akan mengajak kalian semua untuk membakar hujan!.”
Seru Harimau Andalas dengan kencang, yang disusul suara guntur yang
bersahut-sahutan seolah memihak padanya.
Kami
semua terdiam sesaat, sungguh aku tak mengerti makna dari membakar hujan. Apa
yang bisa di bakar dari hujan?. Bukankah api akan padam oleh air?, begitulah
pikirku
“Genderang
perang akhirnya ditabuh juga.” Ujar Kakek Kijang
“Apa
maksudnya Kek? Aku sungguh tidak mengerti.” Tanyaku bingung
“Membakar
hujan itu berarti merubah air hujan menjadi lelehan api yang akan membakar apa
saja yang dibasahinya. Maksudnya adalah kita akan berperang melawan makhluk
berakal itu dan merebut kembali lahan dan hutan kita. Bahkan bertekad mengubah
lahan tinggal makhluk berakal itu menjadi hutan dan lahan kita. Kata membakar
hujan telah menjadi paham di kalangan kita yang tersisa ini sejak saat kondisi
lahan dan hutan kita semakin memburuk. Kebakaran sudah terlalu sering terjadi
tak teratasi, begitu pun pembalakan dan perburuan liar yang semakin menggila.”
Jelas Pak Badak.
Aku
mulai mengerti,kami diajak untuk membalas perbuatan mereka, tapi ketakutanku
masih saja hinggap.
Suara
riuh kemudian bergemuruh mengantikan suara guntur yang bersahut-sahutan. Seruan
membakar hujan telah membakar semangat
mereka. Mereka menyambut seruan itu dengan gegap gempita. Melihat seruannya
bersambut maka Harimau Andalas itu segera menugaskan Buaya-Buaya Kapuas untuk
mencari informasi dan kawanan yang masih bertahan di tiap-tiap daerah untuk
membentuk basis pertahanan dan serangan. Seketika percakapan diantara mereka
berubah menjadi rapat penting penyusunan rencana pembalasan.
Tapi
tidak denganku yang bersama Pak Badak dan Kakek Kijang. Kami keluar dari tempat
singgah menempuh perjalanan ke Pintu Gerbang dan menanti jemputan si Piring
Terbang yang akan membawa kami ke Havana.
Namun
perjalanan kami seolah tak direstui, tetesan hujan telah berubah menjadi badai
seolah inilah hukuman bagi kami yang tak ikut serta dalam aksi membakar hujan.
Tapi tak mengapa karena Havana memang tujuan awal kami, salah satu alasan
mengapa kami singgah di tempat itu sementara waktu.
Tak
menyangka akan sepelik ini perjalanan kami ke Pintu Gerbang bahkan harus
kehilangan Kakek Kijang yang kelelahan di tengah-tengah perjalanan, untuk
selama-lamanya. Badai itu mengguyur kami selama tiga hari ini. Kakek Kijang tak
mampu bertahan lagi. Setelah kehilangan Kakek Kijang, aku dan Pak Badak telah
tiba di Pintu Gerbang. Selaksa kelegaan dan kebahagian terasa di hati ini. Kami
pun segera menghampiri si penjaga pintu yang berkulit biru dan bermata lima
dengan penuh pengharapan.
Tapi
apa yang kami dengar sungguh sangat jauh dari pengharapan. Si penjaga pntu
bermata lima dan berkulit biru itu dengan santainya berkata, “maaf, bumi libur
hari ini, silahkan kembali lagi dua pekan mendatang”, dengan nada suara
anehnya.
Kami
lemas tak terhingga, ini sudah tepat dua pekan dari waktu yang sebelumnya.
Mengapa hari ini bumi harus libur lagi? Aku mulai putus asa.
Pak
Badak menunjukan wajah kecewa bercampur marah pada si penjaga pintu dan mulai
menyeruduknya. Namun si penjaga pintu telampau kuat dan keras hingga Pak Badak
malah terjatuh ke belakang.
Si
penjaga pintu itu kemudian berkata, “ lalu lintas jalur bumi sedang padat,
piring terbang belum bisa menembus kepadatan arus lalu lintas itu. Jadi bumi
libur hari ini.”
Mendengar
itu Pak Badak berteriak sekencang-kencangnya, meluapkan seluruh emosi jiwa atas
kesedihan dan kekecewaannya. Aku hanya bisa berdiri di atas tanah basah yang
merah, menggigil dan lapar.
Lapar
dan menggigil, menggigil dan lapar, membuat Pak Badak meninggalkanku untuk
mencari makanan, namun ia tak pernah kembali dalam sepekan hingga dua pekan.
Aku mulai merasa payah dan berat, tapi ini sudah dua pekan. Maka kuseret
kaki-kakiku menuju si penjaga pintu dan mulai bertanya.
“Apakah
si Piring Terbang akan datang hari ini?” tanyaku lemah.
“Maaf,
bumi libur hari ini, silahkan kembali lagi dua pekan mendatang.” Begitulah
jawabnya
Mendengar
itu membuat mataku semakin berat dan napas ini semakin payah, sepertinya
hidupku juga akan libur panjang seperti bumi, bahkan lebih panjang dari dua
pekan. Mengapa bumi libur hari ini?, ratapku lalu pergi entah menuju kemana,
mungkin ke Havana. Melihat raga ini melayang-layang di bawah sinar putih yang menyilaukan,
mungkin itu si Piring Terbang datang menjemput. Havana, aku datang.
“Maaf,
bumi libur hari ini, silahkan kembali lagi dua pekan mendatang.”
END.