sumber gambar : TinkyTyler.org
Tak pernah terbayangkan
mengalami hal yang mengejutkan semengejutkan hari ini. Kedatangan Leon ke rumah
sore ini membuat hidup ini jungkir balik. Mengapa harus hari ini? Dimana hati
ini baru saja menyadari cinta yang dimulai sejak pandangan pertama..
“Aku enggak lama di sini Nas, cuma
mau antar barang titipan Om Wirya dan langsung ke Bandung malam ini,ketemu
Baby..” Ujar Leon sambil tersenyum
Aku menghela napas panjang
melihat Leon yang baru tiba dari L.A demi mengantar sebuah kotak kayu kecil
yang kini tersimpan di meja makan berukuran kecil.
“Yakin bapakku enggak titip
pesan apa-apa lagi?” tanyaku penasaran. Leon menggeleng pasti sambil
menghabiskan nasi gudegnya, terlihat nikmat.
Pikiran ini mulai berat, mulai
membenci bapak yang selalu menepati janjinya. Bapak pria yang taat janji.
Berpegang teguh pada prinsip janji pria harus seperti merpati, karena merpati
tak pernah ingkari janji. Mendadak aku benci sebuah lagu dengan judul yang
sama.
“Oke, nasi gudegnya enak
banget, thank you Nanas cantik.
Bukannya enggak kangen, but I Have to go,
see you dear.” Pamit Leon setelah kenyang makan dan minum.
“Oya, sekali lagi congrats ya, aku doakan yang terbaik
buat kamu.” Tambah Leon sembari bangkit dari duduknya dan memelukku.
Benci rasanya mendengar Leon
memberi selamat tapi apa mau dikata nasi sudah jadi bubur.
Langkah beratku mengantarkan
Leon hingga ke pintu taxi on line
yang dipesannya. Mobil dengan warna metalik itu menghilang seketika,
meninggalkan aku yang masih terpaku di depan gerbang rumah yang bercat coklat
setinggi tubuh jangkung ini.
“Teetttt!”
Suara klakson motor membawa
kembali kesadaranku, Maya terlihat menyunggingkan senyum manisnya di atas motor
bebek lawas yang dicat ungu.
“Aduh Mbak Ayune! Magrib-magrib gini kok bengong di depan rumah, nanti
kesambet lho!”
Bibir ini tak kuasa menahan
senyum,kami berdua masuk ke dalam rumah diiringi suara adzan magrib yang mulai
bersahut-sahutan.
“Kamu kenapa tadi bengong Nas?
Ada masalah?” Maya mulai melipat rukuh parasut
birunya dan bertanya.
Aku mengangguk dan menggeleng,
membuatnya bingung.
“Ada apa sih Nas? Kok kamu
kayak orang linglung gitu.?”
Jari telunjukku menunjuk
sebuah kotak kayu kecil berwarna coklat muda yang sudah berpindah tempat ke
meja rias putih di samping kanan almari berpintu tiga.
Maya mengambil kotak kayu itu dan
membawanya ke tempat kami shalat. Kotak itu kini berada di antara kami. Di atas
hamparan karpet bulu berwarna merah muda.
“Kotak apa ini Nas?”
Kami memandangi kotak ini agak
lama, lalu kuraih dan membukanya.
“Ini”, kotak yang kini terbuka
kembali tersimpan di karpet
“WOW! Cincinnya cantik banget?
Punya siapa?”
Cincin emas putih sederhana
dengan hiasan batu safir biru berukuran kecil membulat di tengahnya, bertengger
cantik di kotak kayu dengan bantalan hitam.
“Punyaku..” lemah suara ini
terdengar.
“Jadi,apa masalahnya dengan
cincin ini? Bukannya lumrah perempuan pakai cincin?”
“Itu cincin pernikahan May…”
jawabku menggantung
“Pernikahannnya siapa? Kok ada
di kamu?”
“A….ku.” mata ini menatap
lurus mata Maya berusaha meyakinkan diri sendiri dan dirinya.
“What?! Hallo kapan kamu married
Jeng Nanas? Sama siapa? Aduh Kepala ini mulai bingung!” Maya yang
terkaget-kaget mulai memijit-mijit kepalanya yang belum terbungkus kerudung.
Bingung harus menjelaskan
darimana, karena kepala ini masih berat menerima kenyataan bahwa bapak
menunaikan janjinya di tahun ini dan tanpa pemberitahuan sama sekali.
Benar-benar sesuai perjanjian.
Pikiran kusut ini membawa
ingatan kembali ke tiga tahun yang lalu, saat masih bersama bapak.
“Baik, Bapak akan ijinkan kamu
kembali pulang ke Yogya dan tinggal di sana, sendirian. Tapi dengan satu
syarat!” suara bapak yang berat terdengar begitu tegas di telinga.
Bapak yang saat itu mengenakan
setelan kaos polo merah dan celana jeans pendek selutut, duduk saling
berhadapan denganku di atas sofa hitam yang berbahan kulit
“Syarat?” tanyaku taku-takut.
Bapak yang masih terlihat
gagah diusia senjanya, menggangguk mantap. Keriput di wajahnya justru
mengguratkan keseriusan yang dalam.
“A..pa syaratnya Pak?” tanyaku
dengan tangan yang mulai basah mandi keringat.
Bapak menghela napas panjang
kemudian mata cokelatnya menatap lekat-lekat. Tangannya yang kokoh berwarna
tembaga memegang pundak kecilku yang kala itu berumur dua puluh satu tahun.
“Bapak akan langsung
menikahkanmu dengan lelaki pilihan bapak sesuai amanat mendiang bundamu. Kamu
hadir atau tidak di sini.”
“Maksud Bapak, saya akan
langsung bapak nikahkan meskipun saya tidak disini, bahkan tak pernah beremu
dengan dia?”, tanyaku histeris
“Benar.” Jawab bapak singkat
Rasanya seperti tersengat
listrik bertegangan tinggi, ingin protes namun raut wajah bapak sangat serius.
Entah mendapat wangsit darimana
saat itu aku hanya merasa itu gertak sambel untuk mencegahku kembali Yogyakarta,
ke rumah lama kami. Rumah yang penuh kenangan mendiang ibu.
“Lalu kalau tanpa
pemberitahuan, bagaimana saya tahu sudah
dinikahkan?” tantangku.
“Bapak akan mengirim sebuah kotak
kayu yang di dalamnya ada sebuah cincin. Itu tandanya kamu sudah bapak
nikahkan. Cincin itu adalah cincin kawinmu.” Terang bapak.
Aku tertegun sesaat, rambut
panjang yang terjulur sampai ke pinggang mulai terpilin. Bola mata hazel ini
mulai bergerak ke kiri dan ke kanan. Menimbang –nimbang, entah mengapa
lagi-lagi hati ini merasa itu hanya gertakan bapak untuk meruntuhkan
keinginanku pulang ke rumah yang telah lama kami tinggalkan. Meninggalkan rasa
sakit dan perih atas kepergian bunda untuk selamanya.
“Baiklah Pak, saya sepakat
dengan syaratnya.” Jawabku mantap
Bapak tersenyum penuh
kemenangan lalu menepuk-nepuk pundak ini dan berlalu meninggalkanku yang masih
terduduk kaku berharap keputusan ini benar.
Tahun pertama di Yogyakarta
berlalu dengan damai, bahkan menyenangkan. Bertemu dan berteman dengan Maya,
gadis manis berlogat jawa ngapak yang sangat baik dan berhati hangat hingga membuat kami
menjadi bersahabat.
Syarat yang bapak ajukan sama
sekali tak terjadi, itu membuatku yakin bahwa syarat itu hanya gertak sambal.
Tahun kedua bahkan jauh lebih
menyenangkan dan mengasyikan, aku dan Maya sama-sama diangkat menjadi guide tour tetap di perusahaan travel
yang terkenal tempat freelance kami, dengan
gaji yang menggembirakan
Di tahun kedua pun syarat
bapak yang aku setujui tak pernah menjadi kenyataan. Akhirnya syarat itu
benar-benar dihapus dalam ingatan, berlalu bersama hembusan angin sore di
pantai Parang Tritis saat bertugas
mengantar tamu dari jepang.
Hati yang kujaga ketat agar
tak pernah jatuh pada siapapun demi menepati syarat dari bapak, mulai longgar. Hingga
tanpa tahu mata ini membawa masuk sesosok yang menarik hati saat pertama kali
berjumpa. Ya it’s love at the first
sight. Beberapa bulan yang lalu begitu masuk tahun ketiga di Yogya.
Tapi mengapa, syarat bapak
justru malah terpenuhi di tahun ketiga ini. Kala hati ini telah tertambat sosok
lain. Bagaimana aku bisa menerima suami piihan bapak yang hingga detik inipun
tak tahu sosoknya seperti apa.
Apa yang harus kulakukan
dengan hati yang terlanjur jatuh cinta ini? Air mata yang tertahan sejak tadi
akhirnya mengalir deras. Maya yang masih kebingungan memelukku erat yang
menangs sesenggukan.
Bersambung.
#Meet The Husband
#Part 1
#kelas fiksi.