Senin, 19 Maret 2018

Pinangan

sumber gambar : bukalapak.com

Terlihat jelas di matanya nanar itu membuncah tak terbendung. Gandhi paham betul mengapa Sarita memandangnya seperti itu.

“Maafkan aku, Sar.” Ucap Gandhi lemah. Sarita tak bergeming tatapannya malah semakin garang, membuat nyalinya ciut.

“Aku tahu kau hanya pura-pura baik dan menusuk dari belakang, kamu lancang, sebaiknya kau enyah saja dari sini, aku tak sudi melihatmu.”

Gandhi akhirnya pasrah dan melangkah gontai meninggalkan Sarita yang marah hingga ke ubun-ubun.

Sarita melempar tas cokelatnya ke atas kasur, wajahnya dibenamkan ke bantal yang tak lama basar oleh air mata, tersedu sedan tanpa suara.

Tak terasa pagi menjelang, Sarita menangis semalaman, hingga bermata panda. Dilihatnya wajah di cermin sudah seperti hantu tanah lawang.

Malas ia membersihkan diri, jika tak ingat kemarin ia habis blusukan ke hutan-hutan untuk penelitian. Siapa sangka ditengah blusukannya ia bertemu Gandhi dengan seseorang yang membuat hubungannya entah apa namanya sekarang, mungkin gantung.

“Aku tidak percaya kamu tega melakukan itu padaku Gand.” Ucap Sarita sambil melihat cermin.
Rasa segar membuat perasaanya sedikit ringan, ia pun memutuskan untuk mencari sarapan diluar, mood booster alasannya.

Ia turun kebawah dan dilihatnya tak ada orang, sepertinya penghuni kos yang lain telah pergi sedari pagi, hanya dirinya yang kesiangan.

Pintu depan ia buka dan  nafsu makannya langsung hilang begtu dilihatnya Gandhi berdiri di depan dengan menenteng sebungkus  lontong opor beserta kerupuknya.

Bagaimana ia tahu apa yang ingin aku makan pagi ini, sebal! Gerutu Sarita.

“Pagi, kamu pasti skip makan malam kan? Ini aku bawakan sarapan.” Gandhi mengangkat plastik berisi lontong opor itu.

Sebal tapi lapar, suara perut Sarita jelas sekali terdengar membuatnya malu.

“Ayolah Sar, makan, hmm, katamu tak boleh buang-buang makanan, ya?” bujuk Gandhi.

Melihat wajahnya yang memelas, Sarita akhirnya mengalah, ia masuk kedalam membawa gelas air

Ia tahu akan lebih baik jika ia tak keras kepala sekarang, ia sudah cukup lelah.

Gandhi sangat senang melihat Sarita makan dengan lahap, gadis itu pasti akan makan lebih lahap ketika ia sedang marah.

“Sar, kemarin aku kesana itu untuk melamarmu.” Ujar Gandhi tiba-tiba membuat Sarita tersedak.

Gandhi dengan cepat memberikan segelas air pada Sarita.

“Kamu gegabah Gand…” Sarita mengocek lontong opornya yang tinggal sedikit.

“Ya aku tahu, tapi apa yang aku lakukan itu benar. Bukankah seorang lelaki yang ingin menikahi seorang perempuan harus datang kepada walinya? Ayah kandungnya?”

Sarita tertegun mendengarnya, perasaanya kacau tak menentu, ia tahu Gandhi benar tapi sisi lain hatinya berontak terhadap kebenaran itu.

“Aku tahu kamu pasti akan menolak jika aku bilang terlebih dahulu, maka aku bertindak sendiri. Tapi tak disangka malah bertemu di sana.” Gandhi menatap serius Sarita yang sedari tadi terhenti makannya.

“Aku tahu hubunganmu dengan ayahmu itu rumit, tapi aku ingin niatan baik kita berjalan baik dan benar, aku kesana pun atas seijin ibumu.”

Sarita bertambah kaget mendengar ibunya mengijinkan Gandhi berbuat itu.

“Kau sudah mengenalku selama 10 tahun Sar, kamu tahu aku bagaimana, aku bukannya ingin kamu memperbaiki hubungan dengan ayahmu secepatnya, tapi ia masih hidup dan ia menjadi syarat sahnya pernikahan kita yang tak mau kutunda lagi.” Gandhi melembutkan suara dan pandangannya.

Sarita menatap dalam ke mata Gandhi terlihat keseriusan yang besar, ah sejak kapan pula Gandhi tak serius, ia selalu serius sejak awal mereka membina hubungan 10 tahun yang lalu.

Prinsipnya yang kuat membawa hubungan mereka hingga 10 tahun lamanya, apa tega Sarita mengakhirinya begitu saja.

“Iya aku tahu, hanya saja berat buatku menemui orang yang jelas-jelas mengatakan untuk tidak mengakuinya sebagai ayah, lalu aku harus bagaimana?” lirih suara Sarita terdengar.

“Aku pun tak tahu, ia tinggal di sana, aku hanya ingin melupakannya, namun nasibku sebagai perempuan mengharuskan membawanya kembali pada fase kehidupanku.” Lanjutnya.

Gandhi meresa sangat sedih melihat gadis yang dicintainya itu mengorek luka lamanya.

“Lalu baiknya menurutmu bagaimana?” tanya Gandhi kemudian.

“Entahlah, aku butuh waktu untuk menghadapinya.”

“Baiklah kalau begitu, pakailah ini dan temui aku jika kau sudah merasa siap.” Gandhi mengeluarkan kotak kecil berwarna biru dan menyerahkannya pada Sarita.

Tanpa dibuka pun Sarita tahu isi dari kotak kecil itu, pasti symbol dari keseriusan hubungannya selama ini.

Mereka berpisah setelah Gandhi menerma telepon untuk masuk kantor. Sarita termenung sambil membolak balik kotak kecil berwarna biru itu.

Ia melihat sebuah gelang rantai berwarna putih dengan hiasan kepala hello kitty . Ghandi sangat tahu betul dirinya sangat kekanakan, dibalik sikap dewasa yang ditunjukan selama ini tersimpan jiwa 
kekanak-kanakan yang hanya Ghandi seorang yang tahu.

Apakah Sarita akan menyelesaikan persoalan ini dengan sifat kekanak-kanakannya atau  mengambil langkah dewasa demi kelanjutan hubungannya? Hal itu membuatnya pusing tujuh keliling.

Tiga bulan akhirnya berlalu, di sebuah kafe yang menjadi tempat kesukaan Sarita dan Ghandi biasa bertemu. Sarita duduk manis mengenakan baju berwarna ungu menunggu Gandhi yang terjebak kemacetan.

Sarita membenamkan dirinya di meja dengan tangan yang menjulur. Gandhi yang sudah ada di depannya sampai tak disadari.

“Ayo kita pergi sekarang.” Ajakan Gandhi membuatnya terperanjat dan mendongak.

“Sekarang? Kemana?” Jawab Sarita bingung, untung saja ia belum memesan makanan.

“Ke rumah ayah, kemana lagi?” Wajah serius Gandhi muncul lagi.

“Apa?!” teriak Sarita sehingga mengagetkan orang disekelilingnya.

“Niat baik tak boleh ditunda-tunda lagi, lagipula aku sudah tidak kuat puasa sepanjang tahun hanya untuk meredam gejolak hati, kamu tidak tahu seperti apa rasanya.”

Gandhi langsung menarik tangan Sarita dan membawanya keluar kafe. Sarita tersenyum mengikutinya sambil geleng-geleng kepala.

End

#onedayonepost
#odopbatch5
#menjelanglulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar