sumber gambar : bukalapak.com
Terlihat jelas di matanya
nanar itu membuncah tak terbendung. Gandhi paham betul mengapa Sarita
memandangnya seperti itu.
“Maafkan aku, Sar.” Ucap Gandhi
lemah. Sarita tak bergeming tatapannya malah semakin garang, membuat nyalinya
ciut.
“Aku tahu kau hanya pura-pura
baik dan menusuk dari belakang, kamu lancang, sebaiknya kau enyah saja dari sini, aku tak
sudi melihatmu.”
Gandhi akhirnya pasrah dan
melangkah gontai meninggalkan Sarita yang marah hingga ke ubun-ubun.
Sarita melempar tas
cokelatnya ke atas kasur, wajahnya dibenamkan ke bantal yang tak lama basar
oleh air mata, tersedu sedan tanpa suara.
Tak terasa pagi menjelang,
Sarita menangis semalaman, hingga bermata panda. Dilihatnya wajah di cermin
sudah seperti hantu tanah lawang.
Malas ia membersihkan diri,
jika tak ingat kemarin ia habis blusukan
ke hutan-hutan untuk penelitian. Siapa sangka ditengah blusukannya ia bertemu Gandhi dengan seseorang yang membuat
hubungannya entah apa namanya sekarang, mungkin gantung.
“Aku tidak percaya kamu tega
melakukan itu padaku Gand.” Ucap Sarita sambil melihat cermin.
Rasa segar membuat perasaanya
sedikit ringan, ia pun memutuskan untuk mencari sarapan diluar, mood booster alasannya.
Ia turun kebawah dan
dilihatnya tak ada orang, sepertinya penghuni kos yang lain telah pergi sedari
pagi, hanya dirinya yang kesiangan.
Pintu depan ia buka dan nafsu makannya langsung hilang begtu dilihatnya
Gandhi berdiri di depan dengan menenteng sebungkus lontong opor beserta kerupuknya.
Bagaimana
ia tahu apa yang ingin aku makan pagi ini, sebal! Gerutu
Sarita.
“Pagi, kamu pasti skip makan
malam kan? Ini aku bawakan sarapan.” Gandhi mengangkat plastik berisi lontong
opor itu.
Sebal tapi lapar, suara perut
Sarita jelas sekali terdengar membuatnya malu.
“Ayolah Sar, makan, hmm,
katamu tak boleh buang-buang makanan, ya?” bujuk Gandhi.
Melihat wajahnya yang
memelas, Sarita akhirnya mengalah, ia masuk kedalam membawa gelas air
Ia tahu akan lebih baik jika
ia tak keras kepala sekarang, ia sudah cukup lelah.
Gandhi sangat senang melihat
Sarita makan dengan lahap, gadis itu pasti akan makan lebih lahap ketika ia
sedang marah.
“Sar, kemarin aku kesana itu
untuk melamarmu.” Ujar Gandhi tiba-tiba membuat Sarita tersedak.
Gandhi dengan cepat
memberikan segelas air pada Sarita.
“Kamu gegabah Gand…” Sarita
mengocek lontong opornya yang tinggal sedikit.
“Ya aku tahu, tapi apa yang
aku lakukan itu benar. Bukankah seorang lelaki yang ingin menikahi seorang
perempuan harus datang kepada walinya? Ayah kandungnya?”
Sarita tertegun mendengarnya,
perasaanya kacau tak menentu, ia tahu Gandhi benar tapi sisi lain hatinya
berontak terhadap kebenaran itu.
“Aku tahu kamu pasti akan
menolak jika aku bilang terlebih dahulu, maka aku bertindak sendiri. Tapi tak
disangka malah bertemu di sana.” Gandhi menatap serius Sarita yang sedari tadi
terhenti makannya.
“Aku tahu hubunganmu dengan
ayahmu itu rumit, tapi aku ingin niatan baik kita berjalan baik dan benar, aku
kesana pun atas seijin ibumu.”
Sarita bertambah kaget
mendengar ibunya mengijinkan Gandhi berbuat itu.
“Kau sudah mengenalku selama
10 tahun Sar, kamu tahu aku bagaimana, aku bukannya ingin kamu memperbaiki
hubungan dengan ayahmu secepatnya, tapi ia masih hidup dan ia menjadi syarat
sahnya pernikahan kita yang tak mau kutunda lagi.” Gandhi melembutkan suara dan
pandangannya.
Sarita menatap dalam ke mata
Gandhi terlihat keseriusan yang besar, ah sejak kapan pula Gandhi tak serius,
ia selalu serius sejak awal mereka membina hubungan 10 tahun yang lalu.
Prinsipnya yang kuat membawa
hubungan mereka hingga 10 tahun lamanya, apa tega Sarita mengakhirinya begitu
saja.
“Iya aku tahu, hanya saja
berat buatku menemui orang yang jelas-jelas mengatakan untuk tidak mengakuinya
sebagai ayah, lalu aku harus bagaimana?” lirih suara Sarita terdengar.
“Aku pun tak tahu, ia tinggal
di sana, aku hanya ingin melupakannya, namun nasibku sebagai perempuan
mengharuskan membawanya kembali pada fase kehidupanku.” Lanjutnya.
Gandhi meresa sangat sedih
melihat gadis yang dicintainya itu mengorek luka lamanya.
“Lalu baiknya menurutmu
bagaimana?” tanya Gandhi kemudian.
“Entahlah, aku butuh waktu
untuk menghadapinya.”
“Baiklah kalau begitu,
pakailah ini dan temui aku jika kau sudah merasa siap.” Gandhi mengeluarkan
kotak kecil berwarna biru dan menyerahkannya pada Sarita.
Tanpa dibuka pun Sarita tahu
isi dari kotak kecil itu, pasti symbol dari keseriusan hubungannya selama ini.
Mereka berpisah setelah Gandhi
menerma telepon untuk masuk kantor. Sarita termenung sambil membolak balik
kotak kecil berwarna biru itu.
Ia melihat sebuah gelang
rantai berwarna putih dengan hiasan kepala hello kitty . Ghandi sangat tahu
betul dirinya sangat kekanakan, dibalik sikap dewasa yang ditunjukan selama ini
tersimpan jiwa
kekanak-kanakan yang hanya Ghandi seorang yang tahu.
Apakah Sarita akan
menyelesaikan persoalan ini dengan sifat kekanak-kanakannya atau mengambil langkah dewasa demi kelanjutan
hubungannya? Hal itu membuatnya pusing tujuh keliling.
Tiga bulan akhirnya berlalu,
di sebuah kafe yang menjadi tempat kesukaan Sarita dan Ghandi biasa bertemu. Sarita
duduk manis mengenakan baju berwarna ungu menunggu Gandhi yang terjebak
kemacetan.
Sarita membenamkan dirinya di
meja dengan tangan yang menjulur. Gandhi yang sudah ada di depannya sampai tak
disadari.
“Ayo kita pergi sekarang.” Ajakan
Gandhi membuatnya terperanjat dan mendongak.
“Sekarang? Kemana?” Jawab
Sarita bingung, untung saja ia belum memesan makanan.
“Ke rumah ayah, kemana lagi?”
Wajah serius Gandhi muncul lagi.
“Apa?!” teriak Sarita
sehingga mengagetkan orang disekelilingnya.
“Niat baik tak boleh
ditunda-tunda lagi, lagipula aku sudah tidak kuat puasa sepanjang tahun hanya
untuk meredam gejolak hati, kamu tidak tahu seperti apa rasanya.”
Gandhi langsung menarik
tangan Sarita dan membawanya keluar kafe. Sarita tersenyum mengikutinya sambil
geleng-geleng kepala.
End
#onedayonepost
#odopbatch5
#menjelanglulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar